Satu tahun kemudian ...
Gendis kembali mematut dirinya di cermin untuk yang kesekian kali, memastikan penampilannya telah mendekati sempurna di hari istimewanya. Kebaya putih yang dengan bawahan kain jarik bercorak batik didominasi warna cokelat .
Rambutnya disanggul dengan aksesoris centung, sirkam dan mentul berjumlah tujuh di atasnya. Konon, tujuh dalam bahasa Jawa berarti pitu yang dipercaya sebagai simbol pitulungan. Untaian melati yang digunakan Gendis juga menimbulkan aroma wangi yang semerbak. Ajenglah yang menyarankan untuk menggunakan paes Solo putri di hari bahagia Gendis, sedangkan tugas Gendis hanya menurut saja.
Pintu kamar diketuk oleh seseorang, Gendis mempersilakannya masuk. Abi, dengan balutan beskap hitam dengan kain jarik cokelat sepanjang lutut di atas celana hitam, tampak gagah. Gendis tersenyum sekilas melihat Kakaknya yang selama ini menjadi tempat dia bersandar sekaligus mengeluh. Setelah ini, tugas sang papa dan Abi akan beralih ke suaminya.
"Ganteng amat," celetuk Gendis.
"Enggak perlu diberi tahu, aku sudah sadar diri kok, Ndis, kalau dari dulu ganteng," kelakar Abi. "Kamu juga cantik banget," lanjutnya.
Gendis hanya merespon dengan cibiran di bibirnya.
"Boleh peluk enggak?" pinta Abi yang hari ini tumben sekali berubah menjadi dramatis.
"Ih, Mas Abi kenapa, sih?" Gendis pura-pura menjauh sambil tertawa.
"Terharu, Ndis. Adikku satu-satunya mau hidup sama laki-laki lain." Abi mendekati Gendis sambil merentangkan kedua tangannya.
Mau tidak mau Gendis memeluknya tanpa menempelkan wajah ke beskap Abi tentunya.
"Kita masih sering ketemu kok," hibur Gendis setelah melepas pelukan.
"Rasanya pasti beda kalau ketemu kamu posisi udah nikah. Ndis, kalau ada apa-apa, aku masih bisa dengerin kamu mengeluh lho. Kalau suamimu macem-macem langsung laporin ke aku."
"Enggak ah, yang ada digebukin lagi sama Mas Abi kayak dulu."
Kemudian mereka berdua tertawa mengenang hari-hari saat mereka berusaha bertahan di kerasnya kehidupan.
Tiba-tiba Ajeng masuk ke kamar. "Kalian berdua ini kok malah ketawa kenceng banget!" tegur Ajeng yang membuat keduanya diam seketika. "Ndis, calon suamimu sudah masuk lho, sekarang mau baca ijab kabul. Ayo turun," ucap Ajeng sambil merapikan beberapa bagian kebaya Gendis yang menurutnya belum rapi.
"Mama jangan nangis," ucap Gendis sambil mengusap setitik air mata yang turun di pipi Ajeng menggunakan tisu.
Abi memeluk Ajeng sejenak. "Masih ada Abi yang belum nikah, Ma. Pikirin Abi aja," kata Abi sambil mengusap punggung sang mama.
Ajeng mengendurkan pelukan lalu memukul lengan Abi. "Makanya jangan sibuk kerja terus!" tegurnya hingga membuat Abi meringis. "Ayo, Ndis," ajak perempuan baya itu sambil menggandeng putrinya menuju tempat akad nikah dilaksanakan.
Hari ini, Gendis menjadi sorotan. Dia dan calon suaminya yang beberapa menit lagi resmi menjadi suami akan berperan sebagai tokoh utama di acara hari ini. Puluhan pasang mata tertuju pada Gendis yang turun dari lantai dua dengan anggunnya bersama sang mama. Tidak terkecuali sepasang mata milik seorang pria yang sejak tadi tidak bisa menghentikan senyum.
Decak kagum karena sosok pengantin yang rupawan didengar oleh Gendis berkali-kali, dia hanya melempar senyum kepada para tamu yang terdiri dari keluarga dan orang terdekat dari mempelai laki-laki serta perempuan.
Gendis duduk di samping pria yang menggunakan beskap putih senada dengan kebaya dan jarik yang Gendis kenakan. Penglihatan pria itu tidak lepas sedikit pun dari Gendis sejak tadi hingga penghulu memulai acara dengan doa, kemudian Faris mengucapkan kalimat ijab dan dilanjutkan dengan kalimat kabul dari sang mempelai pria.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
Chick-LitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...