"Kamu tuh, Nda. Udah dibilangin berapa kali kalau di kantor kudu hati-hati, jaga sikap. Gara-gara kamu, Pak Deril hampir tahu hubungan kita, kan?" omel Gendis sambil menunggu pramusaji mengantar ayam bakar pesanan mereka.
Ganda terkekeh, dia tersenyum karena terlalu gemas melihat Gendis yang sejak tadi mengomel sambil menarik beberapa lembar tisu lalu mengusap permukaan meja yang sedikit basah.
"Ganda, jangan ketawa aja," ucap Gendis kesal.
Ganda mendongakkan kepala dengan senyum yang belum hilang dari wajahnya. "Sayang, jangan ngomel terus, bikin aku jadi pengin cubit pipimu lho."
"Astaga, Nda, enggak ada korelasinya antara ngomel sama cubit pupi. Apaan sih, enggak nyambung banget."
"Kamu gemesin kalau cerewet begini."
"Nda, jujur deh sama aku. Kamu tuh bikin akta kelahiran sama KTP dulu nembak ya? Ditua-tuain ya umurnya padahal sebenernya sekarang masih umur dua puluh tiga?" tanya Gendis dengan mimik serius.
Ganda makin terbahak mendengar ucapan Gendis. "Kamu kok jago ngelawak sekarang?" Dia mencondongkan tubuhnya dan mengusap puncak kepala Gendis.
"Kamu tuh kadang bisa bijak luar biasa, tapi kadang ya kayak begini nih, kekanak-kanakan ngomongnya."
"Enggak masalah, Sayang. Kamu mau manja atau kekanak-kanakan sama aku juga boleh. Kamu tahu, justru rasa sayang dan cintanya anak-anak itu tulus, enggak dibuat-buat. Orang dewasa juga perlu beberapa menit jadi anak-anak biar mereka bisa melupakan dunia orang dewasa yang melelahkan dan penuh kebohongan."
Gendis mengerjap sambil memandang Ganda di hadapannya. "Kamu ... lagi ada masalah, Nda?"
"Enggak ada tuh. Kenapa tiba-tiba tanya gitu?"
"Setelah denger kalimatmu tadi, aku jadi kepikiran kalau mungkin aja kamu sekarang lagi ada masalah, tapi enggak cerita ke aku, sedangkan sejauh ini selalu aku yang menyeret kamu ke masalah-masalahku."
"Dis, bagi kamu apa parameternya masalah hingga disebut masalah?"
Gendis menyatukan alis, bingung. "Gimana? Gimana?" tanyanya sambil menegakkan punggung.
"Kamu ngomong masalah-masalah tadi berdasarkan apa, Dis? Kenapa kamu menyebutnya masalah?"
"Hmm ... bagiku, masalah adalah peristiwa yang terjadi di luar garis normal hidupku atau di luar yang seharusnya begitu." Gendis menyatukan tangannya sambil berpikir.
"Kenapa kamu enggak coba ubah mindset, Dis. Kalau kamu ada peristiwa abnormal di tempat kerja jangan sebut dia masalah, tapi risiko kerja. Kalau kamu merasa ada yang enggak beres di keluargamu jangan langsung mendefinisikan dia sebagai masalah, tapi sebut dia risiko kehidupan karena hidup memang dinamis kan, selalu ada yang berubah."
"Terus kalau ada sesuatu yang terjadi di antara kita?"
"Kamu berharap kita ada masalah?"
"Enggak gitu lah. Misalnya ada peristiwa di antara kita, aku harus sebut dia apa?"
"Resiko hubungan. Dua orang dengan dua pikiran dan dua kebiasaan tidak mungkin akan lebur atau larut begitu saja, pasti ada partikel tidak terlarut di sana."
"Bapak engineering manager, kenapa kalimatnya makin menyerempet ke analis laboratorium ya? Ada rencana rotasi posisi, Pak?"
Ganda tertawa. "Enggak ada. Kalau rencana hidup selamanya sama supervisor QC sih ada," goda Ganda, tapi tidak dihiraukan Gendis. Dia lebih tertarik membahas risiko hubungan yang disebutkan Ganda tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
Literatura FemininaGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...