Chapter 17 - I'm Not Wrong

1.3K 105 0
                                    

Gendis menghentikan suapannya, matanya terpaku pada layar ponsel yang tergeletak di meja, tidak ada nama, hanya nomor ponsel yang tertera, tapi Gendis menghafalnya di luar kepala, itu nomor ponsel Ajeng, mamanya.

"Dis, telepon tuh." Ganda ikut mengarahkan pandangan ke ponsel Gendis yang bergetar dan menimbulkan suara di atas meja.

Kini satu meja dengan Ganda saat makan siang menjadi sebuah kebiasaan baru. Gendis sudah lelah mengusirnya agar tidak tampak terlalu dekat ketika di tempat kerja, tapi Ganda terus bersikeras duduk di bangku depan Gendis seakan telah ada stempel khusus bahwa setiap kursi di depan Gendis saat makan siang adalah tempatnya.

"Enggak dijawab?" tanya Ganda.

Gendis menggeleng, "Biarin aja."

"Siapa tahu penting, Dis."

Gendis tidak menghiraukan perkataan Ganda, sambil mengangkat sendok dia memasukkan suapan terakhir nasi soto ke mulut. Setelah menghabiskan satu gelas air putih, Gendis beranjak dari kursi untuk meletakkan piring dan gelas kotor di tempat yang telah disediakan.

Kembalinya Gendis ke bangku, dia mengerutkan dahi, matanya melotot kesal. Ponsel miliknya yang tadi berada di atas meja sekarang berpindah dalam genggaman Ganda dan pria itu dengan lancangnya menempelkan ponsel Gendis ke telinga.

"Kabar saya baik. Kabar Tante gimana?" ucap Ganda dengan nada terlampau ramah. "Gendis? Ini lagi sama saya makan siang di kantin," lanjutnya seolah-olah dia telah mendapatkan izin dari Gendis untuk menjawab telepon.

Gendis merebut paksa ponselnya lalu mematikan sambungan telepon dengan cepat.

"Kok dimatiin? Itu tadi mama lo, Dis," kata Ganda tanpa merasa bersalah.

"Lancang banget jawab telepon orang! Kamu jangan ikut campur urusan orang ya, Nda! Jangan kira kamu udah merasa terlalu deket sama aku sampai jawab telepon seenaknya!" marah Gendis dengan nada rendah, tapi penuh penekanan.

"Gue kira itu telepon urusan kerja, Dis. Gue enggak tahu itu mama lo," sanggah Ganda.

Gendis tidak memedulikannya, dia berjalan keluar kantin dengan tergesa. Emosinya meluap karena tingkah laku Ganda yang kini sudah melewati batas. Masalahnya dengan Ajeng dia simpan rapat selama ini agar tidak ada orang lain yang tahu, tapi Ganda dengan seenaknya terus menggali lebih dalam.

Bukankah Ganda pernah berkata bahwa dia tidak akan bertanya apa pun tentang hubungan buruknya dengan Ajeng? Namun, kini Ganda justru makin ikut campur dalam permasalahannya.

Ganda melesat mengejar Gendis, dicengkeramnya pergelangan tangan wanita itu agar langkahnya terhenti. "Lepas," ucap Gendis datar dan dingin.

"Sorry, Dis. Gue bener-bener minta maaf, gue enggak bermaksud lancang atau ikut campur urusan lo. Gue enggak ngerti kalau itu ternyata mama lo, Dis. Omongan yang lo denger tadi, itu baru kalimat kedua gue, gue enggak ngomong apa-apa selain itu," jelas Ganda.

"Lepasin tanganku. Kamu pengin Pak Deril atau Pak Doni lihat ini? Aku enggak mau jadi tontonan," kata Gendis tanpa mengalihkan pandangannya dari depan.

Ganda melihat sekeliling, benar saja beberapa staf dan operator memandang ke arah mereka sambil berbisik. Jam makan siang memang belum selesai, kantin masih ramai, masih banyak orang berlalu-lalang di luar kantor. Ganda melepaskan tangan Gendis dengan terpaksa, profesionalitas di tempat kerja tetap harus dijaga.

Gendis kembali berjalan menuju kantor, tidak lama ponselnya berdering lagi. Bukan Ajeng melainkan Anindya—staf Document Control, yang meminta Gendis untuk ke ruangannya di kantor timur dengan segera.

"Masuk, Ndis," ucap Anindya begitu melihat Gendis membuka pintu ruangan setelahmengetuk beberapa kali.

"Ada apa, Mbak?" Gendis mendudukkan dirinya di kursi di samping Anindya yang sedang sibuk menatap layar komputer walau sudah memasuki jam makan siang sejak tiga puluh menit lalu. Usia Anindya lebih tua tiga tahun dibanding Gendis, seorang wanita dengan status menikah dan telah dikaruniai satu putri lucu yang fotonya terpampang di meja kerja.

TRACEABILITY (TAMAT ✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang