Chapter 50 - Work and Broken Heart Can't be Together

1K 68 0
                                    

"Ndis, tindakan perbaikan Creamy Cow mana? Ini sudah seminggu!" sentak Deril begitu membuka pintu ruangan Gendis. Hanya kepala Deril dengan rambut dominan putih yang tersembul dari balik pintu.

Gendis mengerjapkan mata sebentar, otaknya seakan berhenti seketika. "E-eh iya, Pak. Nanti saya follow up ke pihak Creamy Cow," ucap Gendis lirih karena merasa bersalah. Dia benar-benar lupa tentang tindakan perbaikan setelah audit kemarin. Terlebih lagi dia harus menghubungi Agung yang dia hindari sampai saat ini.

"Kamu lupa, Ndis? Kamu bisa kerja enggak sih?" sindir Deril dengan menggunakan intonasi tinggi. Deril masuk ke ruangan Gendis. Dalam setahun, Deril melakukan ini dalam hitungan jari artinya sangat jarang dia menginjakkan kaki ke dalam ruangan Gendis.

Melihat dokumen dan map yang berserakan serta ruangan yang jauh dari kata rapi, Pak Deril mulai memancing masalah baru. "Kenapa ruanganmu kayak kapal pecah begini? Bukannya sudah diberi training tentang arsip dan dokumen? Mana yang katanya 5R? Calon manajer kok enggak bisa implementasi Resik dan Rapi," cerca Deril sambil mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan Gendis.

"Setelah ini saya rapikan, Pak. Kebetulan banyak dokumen yang harus saya baca, jadi beberapa belum saya kembalikan ke rak," jelas Gendis.

"Apa menurutmu posisi QC manager terlalu berat buat kamu, Ndis? Kalau memang terlalu berat bilang, mumpung SK nya belum keluar," ucap Deril dengan nada meremehkan.

Gendis berdiri dari kursinya dengan alis menyatu, dia tersinggung dengan ucapan Deril yang baru saja terlontar untuknya. "Kalau saya merasa posisi itu terlalu berat untuk saya ya, Pak, saya enggak akan ikut tes untuk pemilihan QC manajer. Sudah saya tolak dari awal saat bersama Pak Doni dulu."

Kemudian Gendis memunguti map ordner yang terbuka dan tergeletak di mejanya, di kursi tamu, di nakas tempat water heater serta beberapa juga berada di lantai. Ditutupnya satu per-satu lalu ditumpuk dan dikembalikan ke rak asalnya. Gendis memang sengaja melakukannya di depan Deril agar atasannya tidak terus mencari celah untuk mengomelinya.

"Oh ya, jangan lupa juga kamu hubungi Caltesys. Tanyakan ke mereka tentang alat ukur milik kita yang kemarin dikalibrasi sudah selesai atau belum." Deril berbalik mengarah ke pintu untuk keluar.

"Baik, Pak," jawab Gendis datar.

Deril yang baru melangkah dua kali tiba-tiba membalikkan badan lagi. "Sama ini, kamu kontak BPOM untuk minta standar uji mereka yang terbaru. Dengar-dengar metode mikrobiologi untuk industri makanan dan minuman perlu diganti agar lebih efektif dan terjamin hasilnya. Nah, tanyakan ke mereka metode analisa mikrobiologi kita yang sekarang ini perlu di-update atau tidak," ucap Deril lagi.

"Baik, Pak." Gendis memandang Deril sebentar lalu melanjutkan menata deretan map ordner di rak.

"Kamu tumben enggak protes?" Dahi Deril yang sudah keriput terlihat makin banyak membentuk lipatan.

"Ya, bagaimana lagi, Pak, sudah perintah Pak Deril begitu jadi saya cuma bisa melaksanakan," jawab Gendis lirih.

"Seharusnya dari dulu kamu penurut begitu, Ndis. Kita 'kan jadi enggak perlu debat setiap hari gara-gara hal sepele." Raut wajah Deril tampak puas, kemudian pria paruh baya itu benar-benar melangkahkan kaki untuk keluar dari ruangan Gendis.

Gendis mengembuskan napas panjang, seolah hari ini akan sama berat dengan sebelumnya. Selain harus menuruti perintah Pak Deril yang makin hari makin menyalahi ketetapan work instruction QC, dia masih harus menghindari Ganda ketika di pabrik.

Terkadang Gendis ingin tiba-tiba bangunan pabriknya runtuh, atau tiba-tiba ada bencana alam yang meluluhlantakkan Three Mountains sehingga dia tidak perlu lagi berangkat kerja lagi.

Sebenarnya, Gendis dapat dengan mudah mengajukan resign begitu saja, tapi ini adalah momen yang dia tunggu sejak awal bekerja di Three Mountains. Posisi sebagai QC manager adalah target kerjanya sebagai pembuktian bahwa dia juga dapat meraih posisi tinggi karena kualitas kerjanya yang baik. Lebih tepatnya, untuk membuktikan ke Pak Faris bahwa Gendis juga bisa hidup tanpa bergantung padanya.

Gendis menatap satu nama di layar ponselnya. Sudah lebih dari setengah tahun nama yang biasa menghiasi kotak pesan dan panggilan teleponnya kemudian digantikan oleh nama lain. Namun, sekarang Gendis dengan nama lain itu juga telah berakhir.

Dengan ragu Gendis menekan kata panggil di ponselnya, menunggunya beberapa detik hingga nada dering panggilan beralih menjadi suara berat milik seorang pria.

"Gendis? Ada apa, Ndis?" tanya pria di seberang tanpa basa-basi.

Gendis menghela napas, sejujurnya dia iri dengan para lelaki yang dapat dengan mudahnya melupakan masalah setelah mengatakan 'I'm leaving, take care'. Sedangkan Gendis berusaha mati-matian untuk menyembuhkan luka hatinya dulu.

"Gung, mengenai tindakan perbaikan audit Three Mountains ke Creamy Cow kemarin, apa bisa dikirim hari ini?" tanya Gendis.

"Ah, iya. Ya ampun, sorry, Ndis. Aku baru balik dari luar kota, nanti siang aku kirim by e-mail ya," jawab Agung dengan nada merasa bersalah, tapi Gendis tahu itu hanya pura-pura. Agung terlalu piawai bicara dengan orang lain, dan Gendis baru menyadarinya sekarang.

"Oke, ditunggu sebelum makan siang ya, Gung. Thank you." Gendis segera menutup telepon, berbicara dengan Agung berlama-lama membuatnya jengah dan makin ingin marah jika mengingat pembicaraan Agung dengan Ganda tempo hari. Sedangkan Agung tidak merasa membuat kesalahan sama sekali.

Gendis terpaku beberapa saat, mempertanyakan dirinya yang harus mengalami liku kehidupan yang menurutnya konyol. Konyol, tapi menyakitkan. Tuhan seakan tidak berpihak padanya untuk bahagia sebentar. Ada saja masalah yang bergulir dan berebut untuk segera diselesaikan.

Dokumen yang bersegerakan menunggu untuk kembali dirapikan oleh pemiliknya. Lembaran laporan yang belum dilubangi belum bisa dimasukkan ke ordner. Gendis mengambilnya satu per satu hingga tidak sengaja menarik salah satu kertas dengan kasar dan melukai jarinya hingga berdarah. Goresan yang berasal dari selembar kertas itu mengenai telunjuknya.

Kesal, marah, dan benci tercampur menjadi satu. Gendis menitikkan air mata yang berusaha dia bendung sejak tadi, kini tumpah juga. Mau bertahan selama apa pun dan mencoba menguatkan diri seperti apa pun, toh ternyata hatinya lemah juga.

"Kertas berengsek!" umpat Gendis. Dia tidak tahu harus menyalahkan siapa. Menyalahkan dirinya yang terlalu bodoh dan naif atau menyalahkan subjek di sekelilingnya yang tidak pernah benar-benar memberinya ruang untuk bahagia tanpa menyakiti.

Gendis kehilangan antusiasnya, benteng kokoh yang berusaha dia bangun selama ini roboh juga pada akhirnya. Dia sudah terlampau lelah menjalani semua hal termasuk bekerja. Gendis tidak akan bisa bekerja dalam kondisi seperti ini. Gendis tidak akan bisa mencapai keinginannya di Three Mountains jika situasi terus begini. Mau seprofesional apa pun, pekerjaan dan hati terluka tidak akan pernah bisa menyatu jika variabelnya masih ada di sekeliling Gendis setiap waktu.

***

TRACEABILITY (TAMAT ✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang