"Dis, are you sure?" tanya Ganda sekali lagi untuk memastikan keputusan yang Gendis ambil kali ini.
Gendis mengangguk sambil menyerahkan helmnya. Di depan sebuah klinik praktik Psikolog, Gendis membaca tanda nama yang dipasang di atas pintu klinik dengan meremas kedua tangannya untuk mengurangi kegugupan. Inilah saat yang terbaik untuk menunjukkan ucapannya pada Feri dua hari lalu. Sebuah tanggungjawab sebagai anak.
Klinik dengan nuansa homey tampak sepi, tercium aroma lavender dan pepermint yang menenangkan. Setelah melewati pintu masuk dan mendaftar janji temu, klien akan menunggu di tempat layaknya ruang tamu sebuah rumah.
Nama Gendis dipanggil setelah satu orang keluar dari pintu ruangan konsultasi.
"Aku di sini aja ya, Dis," ucap Ganda.
"Enggak ikut masuk?" tanya Gendis bingung.
Ganda menggeleng dengan senyum. "Biar kamu lebih nyaman ngobrol sama Psikolognya," jawab Ganda.
Gendis seperti meninmbang sesuatu. Sebenarnya dia berharap Ganda menemaninya sampai dia melakukan sesi konsultasi. "Hm ... Ya udah deh, aku masuk dulu ya."
"Semangat ya Sayang," bisik Ganda.
Gendis tersenyum sekilas lalu segera menuju ruang konsultasi sebelum namanya dipanggil dua kali. Kesan pertama yang Gendis dapatkan begitu membuka pintu ruang konsultasi adalah hangat. Tembok ruangan berwarna pastel dengan kombinasi antara warna krem pucat dan nuansa kuning, berbeda dengan ruang tunggu yang lebih dominan dengan warna biru laut.
Tidak banyak perabotan di dalam ruangan, hanya sepasang kursi santai yang berhadapan dan terhalang oleh meja kecil. Serta kursi psikologis yang diletakkan di ujung ruangan untuk klien dengan sebuah kursi berbahan kayu di sampingnya untuk konsultan.
"Halo, Mbak ... Gendis," ucap seorang pria dengan kemeja biru laut dengan aksen garis sambil membaca selembar kertas dari balik kaca matanya yang berbingkai persegi panjang.
"Halo ... Dok," jawab Gendis kikuk.
Pria itu tertawa, "Saya bukan Dokter, panggil nama saya saja, Randu, kita seumuran kok."
"Eh, gimana?" tanya Gendis tidak yakin.
"Psikolog bukan Dokter medis jadi saya enggak bisa beri kamu resep obat. Kalau psikiater itu baru Dokter," jelasnya dengan senyum.
"Ooh ...." Gendis mengangguk mengerti.
"Jadi, apa yang kamu rasakan, Dis?" tanya Randu begitu Gendis duduk di hadapannya. "Kamu sudah cukup nyaman duduk di situ? Atau mau pindah ke kursi lain? Tawar Randu sebelum memulai sesi konsultasi.
"Enggak perlu, di sini saja." Gendis menyandarkan punggungnya mencoba menyamankan diri. Dia sudah bersiap sejak kemarin, mencari tahu apa saja yang harus dilakukan saat konsultasi dengan psikolog dan hasil apa yang dia inginkan ke depannya.
Gendis sudah memetakan pikiran sejak semalam, berharap pertemuan dengan psikolog dapat berjalan lancar. Namun, kenyataannya begitu Gendis masuk ke ruangan, tiba-tiba tangan dan kakinya terasa dingin. Dia gugup luar biasa.
Randu memandang Gendis yang mulai gelisah. "Dis, pindah tempat duduk di sana aja, yuk." Randu menunjuk kursi psikolog.
Gendis tidak segera menjawab.
"Di situ badan kamu bisa lebih rileks," ucap Randu lagi.
Kali ini Gendis mengangguk. Kemudian dia mengikuti arahan Randu, tubuhnya setengah terlentang seperti orang tertidur. Gendis tampak lebih nyaman di kursi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
Chick-LitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...