Ini hari keempat Gendis meninggalkan pekerjaan dengan izin cuti. Deril tentu saja tidak bisa membiarkan Gendis tenang di rumah, ada saja alasan untuk menghubungi dan memarahi wanita itu. Bicara tentang rumah, hampir seminggu lebih Gendis tidak berada di rumah sewanya. Gendis justru menghabiskan waktu di rumah Faris dengan mengurung diri di dalam kamar. Faris tahu Gendis pulang ke rumah, tapi belum ada pembicaraan di antara ayah dan anak itu.
"Ndis, kata Papa, mobil yang biasa kamu pake, pake lagi aja," ucap Abi setelah mengetuk pintu kamar dan Gendis mempersilakan kakaknya masuk.
Gendis sedang duduk di kursi di samping jendela kamar seperti orang selesai merenung lama. Dia hanya menjawab dengan anggukan.
"Kamu kenapa sih, Ndis? Perasaan hampir seminggu enggak kerja. Kamu ada masalah di kantor? Atau ... ada masalah sama Ganda?" Abi mendudukkan diri di pinggiran tempat tidur sambil menghadap ke adiknya.
"Kalau aku resign, menurut Mas Abi gimana?" tanya Gendis setelah menghela napas panjang.
Abi mengerutkan dahi. "Ya terserah kamu sih, Ndis. Kamu sendiri juga pasti sudah banyak pertimbangan untuk ambil keputusan itu, cuma kamu yang tahu mana yang terbaik."
Gendis menunduk memainkan ujung kuku jari tangan.
"Kamu ada masalah kan, sama Ganda? Ganda punya cewek lain?" cecar Abi tidak sabar. "Perlu aku yang tegur dia?" lanjutnya.
"Jangan," cegah Gendis agar Abi tidak ikut campur masalahnya. "Ini bukan masalah. Hanya ... risiko hubungan. Biar aku sendiri yang menyelesaikan, Mas."
Abi beranjak sambil menepuk bahu adiknya, "Kalau ada apa-apa bilang aku, Ndis," ucap Abi sambil menuju pintu. "Ah iya, Papa keluar kota sejak dua hari lalu. Kamu belum bicara sama sekali sama Papa,kan?" Abi menghentikan langkah kakinya sejenak.
Gendis menggeleng.
"Ya sudah, selesaikan satu per satu." Lalu Abi benar-benar beranjak keluar dari kamar setelah nasihat singkatnya tersampaikan. Dia tidak ingin Gendis menyesal karena terlambat menuntaskan masalahnya hingga berlarut dan menghentikan kehidupannya sejenak.
Hari kelima, Gendis sudah memutuskan untuk menemui Deril dan Doni. Bukan menemui Ganda. Gendis masih menghindarinya, padahal Ganda sudah berkali-kali mencoba mengajaknya bicara, menelepon, bahkan semalam Ganda datang ke rumah Faris, tapi Gendis masih menolak bertemu. Beruntung, Abi tidak ada di rumah malam itu, tidak ada yang memaksanya untuk menemui Ganda.
Kini, di hadapan Doni dan Deril, Gendis merasa seperti dikuliti. Sebuah amplop cokelat di atas meja, baru satu menit yang lalu Pak Doni membacanya dan sekarang kedua sesepuh Three Mountains itu bersidang dengan Gendis yang sejak tadi duduk di hadapan mereka.
"Tuh kan, saya sudah tanya ke kamu dari kemarin, sanggup enggak dengan posisi QC manajer? Kenapa baru ngomong sekarang kalau enggak sanggup?" cecar Pak Deril.
"Ndis, ini ... kamu serius?" timpal Doni sambil mengetuk telunjuk ke atas amplop.
"Maaf Pak Doni, Pak Deril. Saya tidak bisa melanjutkan pekerjaan di Three Mountains," ucap Gendis.
"Kamu ada masalah?" tanya Doni lagi. "Masalah pekerjaan atau pribadi yang sampai mengganggu pekerjaan gitu?" Pria baya itu menyatukan jari, menatap Gendis dengan pandangan seolah tidak ingin Gendis pergi dari perusahaan minuman itu.
"Kamu kalau ada masalah sama Ganda, jangan dibawa ke urusan pekerjaan, Ndis!" tegur Deril dengan nada sok tahu.
"Maaf, Pak." Gendis kehilangan kata untuk membantah ucapan Deril yang tidak bisa disalahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
ChickLitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...