Gendis menerima amplop cokelat yang diberi Agung beberapa detik lalu. Dia terdiam sesaat seraya membolak-balikkan amplop seperti orang kebingungan.
“Jadi, ini surat apa?” tanya Gendis pada Agung yang masih berdiri di hadapannya.
“Pengunduran diri,” jawab Agung sambil melepas hairnet yang tadi masih menempel di atas kepalanya dan memperlihatkan rambut pendek lima sentimeter dengan potongan undercut. Rambut bagian atasnya tampak berantakan tak terarah karena telah bersembunyi di balik hairnet selama delapan jam, tapi Gendis menyukai itu, setidaknya dalam sepuluh bulan terakhir.
Gendis menutup pintu ruangan yang tertempel tulisan quality control supervisor room agar tidak ada yang mendengar pembicaraannya dengan Agung.
“Sebentar, ini siapa yang mengundurkan diri? Bukan kamu, kan?” tanya Gendis lagi dengan posisi sejajar di hadapan Agung.
“Aku, Ndis,” jawab Agung yang hanya berani memanggil nama Gendis langsung ketika mereka sedang di luar jam kerja atau saat mereka sedang berdua saja seperti sekarang, selain itu dia selalu memanggil Gendis dengan penyematan kata ‘bu’ di depan namanya, walaupun usia Gendis tiga tahun di bawah Agung.
“Kenapa tiba-tiba mengundurkan diri?” Gendis mengerutkan dahi, masih tak mengerti.
“Aku dapat tawaran kerja di perusahaan lain.” Agung mengulas senyum.
“Kamu diam-diam interview di tempat lain?” tanya perempuan itu dengan mata membulat.
“Iya. Kira-kira dua minggu yang lalu dan aku diterima. Gajinya lebih besar, peluang jadi supervisor juga lebih lebar, masa mau jadi foreman terus, Ndis.”
“Kenapa enggak pernah cerita?”
“Aku kira enggak bakal diterima di sana, eh ternyata rejeki.” Senyuman Agung makin lebar.
Gendis masih bingung dengan keputusan Agung mengundurkan diri yang menurutnya terlalu mendadak ini. Sebenarnya ini lebih baik untuk keduanya yang tengah menjalin hubungan diam-diam. Profesionalitas Gendis memang perlu dipertanyakan saat dia memilih berkata ‘iya’ ketika Agung memintaya menjadi pacar, bukan atasan di kantor.
Akan tetapi, Gendis ingin mencobanya. Mencoba menjalin hubungan dengan pria untuk pertama kalinya dalam hidup dua puluh sembilan tahun ini. Ingin merasakan suatu hubungan yang bernama ‘pacaran’ dan merasakan interaksi timbal balik antara dua manusia berbeda gender, karakter serta perbedaan pola pikir. Hingga akhirnya Gendis makin terperosok dalam jurang hatinya, dia benar-benar menyukai Agung.
“Enggak apa-apa, kan, aku resign?” tanya Agung lagi, membuyarkan lamunan Gendis.
“Enggak apa-apa, Gung. Itu hak kamu sebagai karyawan. Aku juga ikut seneng kalau kamu dapet pekerjaan yang lebih baik,” jawab Gendis sembari menarik kedua ujung bibirnya ke atas.
“Syukurlah kalau begitu.” Agung mendekatkan langkahnya di depan Gendis hingga hanya menyisakan ruang sejauh tiga puluh sentimeter di antara mereka. “Ndis, tahu enggak anak-anak udah enggak pernah ngomongin kamu lagi lho.” Pria itu menyelipkan anak rambut Gendis ke balik telinga, ditatapnya perempuan itu lekat.
“Oh ya? Kok bisa?” Gendis sedikit mendongak, memandang Agung yang berwajah bulat, tapi tampan karena potongan rambut yang sesuai untuk pria itu.
“Kamu sadar enggak sih, kamu udah enggak sebawel dulu, enggak se-freak pas awal-awal jadi supervisor.”
“Aku? Freak?” Gendis menunjuk dirinya sendiri.
“Kamu dulu freak Ndis, tapi sekarang jauh lebih baik, enggak marah-marah melulu kerjaannya. Dulu aku lihat kamu bawaannya tiap hari cemberut terus. Enggak di pabrik, di luar pabrik, songong banget pokoknya,” ucap Agung sambil tertawa pelan.
“Songong begini juga kamu suka, kan.” Gendis menyatukan alis dengan lirikan menggoda.
“Jangan gitu ah, cute overload. Kalau pasang wajah begitu yang ada aku enggak mau pulang nih.” Agung yang masih tertawa. “Beda banget ya, ‘Gendis’ sama ‘Bu Gendis’,” celetuknya kemudian.
Tubuh Gendis yang memiliki selisih tinggi dua puluh sentimeter dengan Agung, membuatnya masih mendongak saat berbicara dengan kekasihnya. “Apa bedanya?”
“Gendis itu manjanya keliatan, kalau Bu Gendis … galaknya yang keliatan,” goda Agung.
“Hei!” Gendis mencubit pelan perut Agung yang tidak terlihat buncit sama sekali.
“Eh, bentar lagi kamu bukannya ada briefing staf shift 2?” tanya Agung mengingatkan.
“Astaga, lupa!” Gendis bergegas menuju mejanya dan mengambil beberapa dokumen yang dia perlukan untuk briefing staf.
“Mau aku tungguin, Ndis? Mungkin kamu pengen mampir ke mana gitu sebelum pulang ke rumah?” tanya Agung sebelum melangkah keluar.
“Boleh, temenin ke toko buku ya.” Perempuan itu mengangkat wajah di sela-sela kesibukannya mencari dokumen di atas meja.
Agung mengangguk. “Kamu enggak bawa mobil, kan, hari ini?”
“Bawa, sih, atau aku tinggal di kantor aja?”
“Enggak perlu, biar motorku aja yang aku titipin ke Pak Jo. Aku tunggu di tempat biasa ya, Ndis. Jangan lembur lho,” ujar Agung sebelum keluar ruangan.
“Iya, Sayang,” jawab Gendis lembut.
Agung terkekeh mendengar jawaban Gendis, padahal biasanya suara perempuan itu selalu membahana di setiap sudut pabrik terlebih saat menegur atau memarahi staf lain.
Gendis menulis sesuatu di buku, kebiasaan yang selalu dilakukan olehnya sebelum rapat atau briefing staf. Dia lebih suka merinci dan menulis satu per satu poin yang akan disampaikan dalam forum diskusi. Alasannya adalah, pertama karena dia takut terlupa menyampaikan hal penting, dan kedua dia lebih nyaman berbicara sesuai dengan kerangka outline yang dia tulis sebelumnya dibandingkan bicara secara spontan.
Setelah Gendis menyelesaikan pekerjaannya, dia bergegas meninggalkan ruangannya dan menemui Agung yang tadi sudah membuat janji dengannya. Gendis menghentikan mobil di depan sebuah warung kopi, tidak bisa disebut café karena menurut masyarakat di Kota Pahlawan ini, café adalah tongkrongan yang memiliki nuansa santai dengan menyuguhkan tempat berkonsep menarik untuk anak muda serta harga minuman yang relatif mahal, sedangkan tempat yang sering Agung kunjungi sepulang kerja adalah warung kopi yang memiliki bangunan seadanya tapi sangat layak digunakan sebagai tongkrongan. Hanya saja mayoritas pengunjung yang datang ke sana adalah pria, entah sejak kapan aturan tak tertulis itu berlaku di masyarakat bahwa warung kopi hanya diperuntukkan bagi pria mulai usia remaja hingga paruh baya.
Setiap kali Gendis bertanya kenapa Agung sangat suka duduk menghabiskan waktu di sana, jawaban Agung selalu sama yaitu kopi hitam buatan Pak Jo selalu nikmat bahkan lebih nikmat dibandingkan dengan secangkir espresso mahal di sebuah coffee shop terkenal dan itu membuatnya betah berlama-lama di sana sambil mengobrol ringan dengan teman-temannya atau si pemilik warung.
“Hai, Ndis. Aku aja ya yang nyetir,” kata Agung seraya menundukkan kepala dan bicara melalui jendela mobil yang diturunkan Gendis. Perempuan itu mengangguk, lalu turun dari kursi pengemudi.
“Matikan dulu rokoknya,” ucap Gendis yang melihat Agung masih menjepit putung rokok di antara jari telunjuk dan ibu jari.
“Iya. Masuk dulu sana,” suruh Agung. Lalu pria itu membuang putung rokok ke bawah dan menginjaknya dengan safety shoes berwarna coklat dengan aksen tali yang dipakainya sejak tiga bulan lalu. Gendis yang menemaninya membeli sepatu itu. Kemudian Agung mengeluarkan sebotol kecil obat kumur dari dalam tas dan berkumur di sembarang tempat.
“Napasku masih bau rokok, enggak?” tanya Agung yang sudah duduk di balik kemudi sembari memasang safety belt.
Gendis mengeleng sebelum menjawabnya. “Aman.” Padahal dia tidak pernah protes atau menyuruh Agung berkumur terlebih dahulu setelah merokok karena dia sendiri sudah terbiasa dengan asap rokok.
“Jadi, ini mau kemana dulu?” tanya Agung yang sudah menyalakan mesin.
“Ke Gramedia di Basuki Rachmat dulu ya, setelah itu terserah deh, mau kemana.”
“Siap, Bos!” Agung menggerakkan tuas persneling lalu memutar kemudi perlahan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
Chick-LitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...