Tiga tahun kemudian ...
"Dis, kita mau ke Haru Bar, lo ikut, kan?" tanya Sinta yang sudah berdiri di depan meja Gendis dengan sandal jepit. Entah kemana perginya stiletto hitam tujuh sentimeter yang sejak pagi dia kenakan.
"Sorry, gue udah ada janji, nih. Next time ya," ucap Gendis sambil mengemasi barang-barangnya. Mematikan komputer dengan sekali tekan lalu mengembalikan map pada rak yang berdiri di belakangnya.
"Lo kenapa sih, Dis, enggak pernah mau ikut kita party? Kalau emang enggak mau minum bisa order minuman yang lainnya, kan." Sinta pura-pura cemberut dengan menyilangkan tangan di dada.
Gendis terkekeh. "Gue enggak ikut kalian party bukan berarti gue enggak bisa temenan sama kalian lagi, kan?"
"Ya enggak gitu lah, gini-gini kita juga menghormati prinsip orang lain ya. Cuma kadang kita juga pengen nongkrong sama lo, Dis," kata Sinta sambil membetulkan handbag-nya yang turun dari bahu.
"Oke, next time gue traktir tapi, no bar, no clubbing, no party. Kita makan aja, gimana?" Gendis menghampiri temannya yang masih berdiri di depan meja.
"Janji, ya?" Sinta menunjuk Gendis untuk memastikan.
"Gue janji," ucap Gendis sambil mengangkat alis. "Yuk pulang, mobil lo di basement 'kan?" Dia menggamit lengan Sinta dan mengajaknya pergi dari kantor mereka yang terletak di lantai dua puluh.
"Dis," panggil Sinta begitu mereka tiba di depan lift yang menunjukkan masih berhenti di lantai enam belas.
"Apa lagi?"
"Lo kenapa enggak mau dijodohin sama temen-temen kita sih? Sebulan lagi umur lo tiga puluh tiga masa mau jomlo terus." Sinta menatap Gendis yang berdiri di sampingnya dengan wajah penuh pertanyaan.
"Lo aja belum nikah kenapa gue harus buru-buru nikah?" sindir Gendis pada Sinta yang usianya terpaut satu tahun di atas Gendis.
"Paling enggak kan, gue enggak jomlo!" dengus Sinta. "Beneran enggak ada cowok yang lagi deket sama lo, Dis?"
"Besok deh kalau ada, gue langsung laporan ke lo, Sin." Bertepatan saat Gendis menyelesaikan kalimatnya, pintu lift terbuka, ada empat orang di dalam, sepertinya karyawan dari lantai bawah yang sering berpapasan dengan Gendis ketika di toilet atau kantin.
Keduanya berpisah di tempat parkir, Sinta menyusul teman-temannya yang sudah terlebih dahulu berangkat ke Haru Bar. Sedangkan Gendis harus menemui seseorang yang sudah membuat janji dengannya tiga hari lalu.
Sebuah restoran bintang tiga dengan dekorasi dominan hitam dan silver adalah tempat tujuan Gendis petang ini. Beberapa lampu kristal menggantung hampir memenuhi ruangan untuk memberi kesan mewah.
"Pa," panggil Gendis lirih sambil menepuk bahu sang papa yang duduk membelakanginya.
"Eh, sudah datang, Ndis?" Faris memeluk Gendis sejenak. "Mana Abi?" tanyanya lagi.
Gendis melihat arloji yang melilit di tangan kiri. "Mungkin sebentar lagi, Pa." Kemudian meletakkan hand bag hitam di kursi sampingnya. "Papa apa kabar? Gimana Surabaya?"
"Baik, Papa baik," ucap Faris sambil membenarkan posisi duduknya. "Surabaya ... ya begitu-begitu saja, Ndis. Kamu enggak pengin ke rumah? Kamarmu masih sama kok, tiap hari dibersihin." Pria baya itu memandang putrinya yang makin hari justru terasa makin dekat dengannya walaupun sudah tidak tinggal serumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
ChickLitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...