Chapter 2 - Sudden Trouble

3K 152 3
                                    

 Pagi ini, Gendis sudah duduk di meeting room bersama jajaran supervisor dan manajer. Jam masuk kerja secara aturan tertulis masih tiga puluh menit lagi, tapi mereka sudah dalam formasi lengkap untuk melakukan urgent meeting pagi ini.

 “Product complaints tadi pagi dari distributor Makassar,” ucap Deril sebagai Quality Control Manager–yang artinya atasan langsung Gendis berdasarkan struktur perusahaan–sambil melempar satu bendel kertas yang berisi screen capture e-mail distibutor lengkap beserta dokumentasi kondisi produk yang ada di sana.

 Gendis mengambil satu bendel kertas yang berada tepat di depannya kemudian membacanya dengan saksama, membalik lembar berikutnya sambil meneliti foto produk bocor dan beberapa kemasan yang tampak menggembung bahkan ada yang meletus. Gendis mengembuskan napas sepelan yang dia bisa, baru kali ini datang product complaints dari distributor di pagi hari yang sangat mengejutkan.

Bagaimana tidak, selama empat tahun Gendis bekerja di beverage manufacturing industry–yang mana dua tahunnya adalah saat dia telah diangkat sebagai QC supervisor–produk yang dihasilkan selama ini tidak pernah ada yang kondisinya parah dan tidak layak seperti sekarang, lalu bagaimana produk ini bisa mendapat status release sebelumnya?

Seharusnya ini tugas penting dari Departemen Quality Control yang melakukan pengecekan sedemikian rupa mulai dari raw material hingga menjadi finished goods yang siap dijual. Bahkan, sebelum diedarkan di pasar pun, Departemen QA harus melakukan pengecekan sekali lagi terhadap produk tersebut sampai dipastikan bahwa sudah benar-benar sesuai standar, mulai dari packaging hingga microbiological checking yang harus nol bakteri dan nol jamur, kemudian baru dapat status release dan mendapat QA pass stamp.

“Ada berapa jumlah produk yang seperti ini, Pak?” tanya Gendis mencoba bersikap setenang mungkin.

Pria berusia lima puluh tahunan itu melirik Gendis, seolah dia sedang bersiap-siap untuk menghujani pertanyaan dan umpatan pada satu-satunya supervisor perempuan itu. “Dua kontainer pengiriman terakhir,” jawab Pak Deril dengan nada bicara seakan berusaha menahan emosi. “Kerjamu gimana sih, Ndis?” Baiklah, pertanyaan sarkastis sudah terucap dari Deril, artinya setelah ini Gendis harus bersiap menerima segala caci maki.

“Sudah sesuai SOP dan WI, Pak,” jawab Gendis dan diikuti beberapa pasang mata yang menatap ke arahnya. Gendis sudah terbiasa dalam situasi seperti ini, terlebih jajaran supervisor dan manajer di Three Mountains mayoritas laki-laki sehingga kalimat kasar yang tidak seharusnya dia dengarkan sudah terlampau sering ditangkap telinganya. Maklum, kondisi pekerjaan Gendis benar-benar under pressure karena output dari industri ini adalah kategori F&B yang dikonsumsi langsung oleh pembeli, sehingga untuk quality, hygiene dan sanitary adalah nomor satu yang diutamakan di atas poin lainnya.

“Saya kerja di sini sudah lima belas tahun lebih belum pernah mendapat product complaints yang tingkat keparahannya seperti sekarang ini, Ndis!” sentak Deril. Ya, kalimat yang sering Gendis dengar lainnya adalah tentang masa kerja para Bapak senior yang merasa bakti pada perusahaan lebih lama sehingga selalu merasa kinerjanya yang paling baik.

Problem ini belum terdengar sampai ke Direktur, baru Plant Manager dan kita yang ada di sini. Entah bagaimana jadinya kalau Direktur sudah tahu tentang ini. Apalagi ada produk yang sudah masuk ke supermarket. terpaksa tadi pagi, saya minta tim sales untuk hold all product di Makassar. Di sini kita belum bisa memastikan apakah hanya produk yang di Makassar yang seperti ini, karena tidak menutup kemungkinan produk di kota-kota lain juga banyak yang kondisinya tidak layak minum,” lanjut Deril, kali ini intonasi bicaranya lebih rendah dibandingkan sebelumnya.

“Gendis, sudah mock recall produk?” tanya Doni, Plant Manager yang usianya paling tua di antara para peserta meeting.

“Sebatas membaca report QC field, Pak, dan saya tidak menemukan ada note apa pun di report mereka yang artinya seharusnya semua baik-baik saja,” jawab Gendis seraya memandang Doni yang duduk di seberangnya.

“Baik-baik saja apanya! Produk seperti ini kok dibilang baik-baik saja!” potong Deril dengan nada tinggi lagi.

“Sebentar Pak Deril, biar Gendis menjelaskan dulu.” Doni menengahi sambil mengangkat tangannya sebagai isyarat.

“Saya cuma bisa traceability masalah ini berdasakan report yang QC field tulis, Pak. Karena saya sendiri sedang tidak berada di sana saat proses produksi di batch tersebut, jadi jujur saya tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.”

Foreman-nya siapa saat jam itu?” tanya Doni lagi. Harus Gendis akui, Plant Manager-nya memiliki tingkat kesabaran yang luar biasa, tapi tetap bisa menunjukkan sikap tegas tanpa harus berteriak seperti manajernya.

“Agung, Pak,” jawab Gendis.

“Kalau begitu, tolong panggil Agung ke sini,” suruh Doni.

Gendis terdiam, dia tengah mempertimbangkan jawaban. “Em … Agung baru saja resign, Pak, satu minggu yang lalu.” Setelah menyelesaikan kalimat itu, tiba-tiba raut wajah Gendis menjadi super gelisah. Dirinya seakan menyadari sesuatu dan membuat otaknya berhenti berpikir.

Doni mengembuskan napas berat, ini sudah cukup menjelaskan bahwa situasi sedang tidak baik-baik saja. “Ganda, apa enggak ada note di machine report saat batch itu?” Pak Doni beralih melempar pertanyaan pada Ganda–engineering manager–yang duduk di samping Gendis.

“Ada, Pak. Dua puluh menit di jam 13.40 sampai 14.00 stopped machine karena repair bagian strip roller dan refill hidrogen peroksida, Pak.” Ganda menyodorkan report sheet pada Doni.

Dibacanya sebentar, lalu Doni menganggukkan kepala. “Kalau berdasarkan report milik engineering, main cause-nya sudah ketemu. Tapi pertanyaan saya kenapa enggak ada di report milik QC, Ndis?” tanya Doni sambil mengerutkan dahi. Lagi-lagi semua pandangan peserta meeting tertuju pada Gendis.

“Maaf Pak, human error,” jawab Gendis dengan kepala sedikit menunduk. Sejujurnya, dia sudah tidak punya pembelaan lagi.

“Enak saja bilang human error! Kamu bisa handle bawahan enggak, sih?” Untuk kedua kalinya di pagi yang cerah ini, Deril menusuk Gendis dengan kalimat yang dia ucapkan tanpa peduli bagaimana respon perempuan itu.

“Baiklah sementara begini saja, karena rejected product di distributor kemungkinan bisa lebih dari dua container itu dan perlu untuk observasi lebih lanjut, nanti sore Gendis dan Ganda berangkat ke Makassar. Saya, Pak Deril dan Pak Boni akan membawa masalah ini ke Head Office, semoga semuanya masih bisa teratasi dengan baik walaupun kita tahu risiko besar menanti di depan. Sekali lagi saya ingatkan terutama yang handle langsung bagian field dan khususnya Departemen Quality Control, beri warning ke foreman, Ndis, semua yang dilakukan selama production process harus teliti dan berhati-hati. Kualitas machine kita memang sangat bagus tapi ada kalanya machine mengalami sudden trouble, itulah pentingnya ada human di sana. Untuk saat ini, kita hold semua produk di distributor, retail store maupun di market, hingga kita bisa memastikan bahwa semua produk bermasalah sudah kita tarik,” jelas Doni penuh kebijaksanaan.

Setelah itu semua orang keluar dari meeting room dan melanjutkan pekerjaan masing-masing. Gendis masih duduk di kursinya, menggulir layar ponsel dan melakukan panggilan ke nama Agung yang tertera di sana.

The number you’re calling is out of reach, please try again in a few minutes ….” Suara seorang wanita sebagai automatic answer ketika nomor yang ditelepon tidak dalam keadaan menyala, menjawab dengan setia sejak tadi walaupun Gendis sudah berulang kali mencoba menelepon nomor tersebut.

Shit!” umpat Gendis pelan. Ini hari keempat Agung tidak dapat dihubungi, pria itu seakan menghilang ditelan bumi setelah resign minggu lalu.

Gendis belum mencoba berkunjung ke rumah Agung karena memang tidak ada alasan yang jelas kenapa Gendis harus ke sana, tapi untuk saat ini sepertinya Gendis benar-benar harus ke rumahnya agar dapat bertemu Agung secara langsung dan membicarakan masalah ini.

Akan tetapi … kapan perempuan itu ada waktu? Gendis harus terbang sore ini ke Makassar yang entah sampai kapan dia harus berada di kota itu. Perempuan itu meremas rambut bagian depan dengan kedua tangannya. Frustrasi.

***

TRACEABILITY (TAMAT ✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang