“Bu Gendis tumben pagi banget sudah di sini,” sapa salah satu pria kurus yang bekerja sebagai staf quality control di bagian packing room, yang artinya dia bawahan Gendis langsung scara struktural.
Gendis melihat ke arah jam dinding besar yang dipasang di dinding packing room, ternyata masih jam setengah tujuh pagi. “Iya, mau cek ke tiap divisi,” jawab Gendis seraya memperhatikan produk minuman dengan merek Jujeju yang berjalan di atas rel conveyor panjang.
Pria itu hanya menganggukkan kepala lalu kembali pada pekerjaannya.
“Printernya sudah enggak rusak lagi kan, Pak Her?” tanya Gendis sambil memperhatikan alat semacam printer berukuran besar untuk mencetak expired code pada kemasan box.
Si Bapak yang ditanya oleh Gendis, sontak menoleh. “Aman Bu, kemarin langsung diperbaiki sama orang teknik,” jawab Heru yang merupakan salah satu staf production process.
Ponsel Gendis bergetar, ada telepon masuk. Tidak ada nama, tapi nomornya sudah dia hapal di luar kepala. Itu nomor ponsel Ajeng. Gendis keluar dari field, tapi tidak untuk menjawab telepon, melainkan membiarkan panggilan itu berhenti dengan sendirinya. Gendis merasa canggung jika harus menjawab telepon dari sang mama yang tidak pernah terdengar kabarnya. Lagi pula, perempuan itu belum bisa mengakhiri keegoisan dari dalam dirinya untuk memaafkan Ajeng yang telah pergi bertahun-tahun lalu dengan mudah.
Kemudian Gendis melanjutkan visit ke divisi pasteurized fresh milk, setelah memastikan produk flavored drink tidak ada masalah. Production field divisi flavored drink dan divisi pasteurized fresh milk terletak di tempat yang berbeda dan dipisahkan oleh bangunan raw materials warehouse. Sehingga dia harus berjalan keluar dulu dan melewati warehouse untuk menuju divisi yang berbeda.
Sosok Ganda yang sedang berjalan ke arah Gendis, membuat perempuan itu buru-buru berbelok masuk ke warehouse untuk menghindarinya, tapi Ganda sudah terlanjur menyapanya.
“Pagi, Dis,” sapa pria itu yang tahu-tahu sudah berdiri tiga meter dari Gendis.
“Pagi,” jawab Gendis singkat lalu berbelok dan ternyata Ganda masih mengikutinya.
“Sudah sarapan? Masih jam tujuh lewat sepuluh nih,” ucap si engineering manager memulai basa-basinya.
“Sudah.” Gendis menjawab tanpa menoleh.
“Tumben, katanya enggak terbiasa sarapan,” celetuk Ganda.
Perempuan itu menghentikan langkah kakinya, lalu mengembuskan napas kasar. Masih dengan pandangan lurus ke depan, tanpa memutar tubuhnya ke arah Ganda, dia bersungut. “Oke, aku sudah sarapan dan aku enggak mau sarapan sama ka―” Gendis tidak melanjutkan kalimatnya karena ketika dia memutar tubuh, Ganda yang harusnya tadi mengikuti dia, sudah tidak ada di belakangnya. Pria itu tengah berbicara dengan Doni, supervisor warehouse di area timur gudang, tapi suara Gendis jelas terdengar karena menggema.
Ganda dan Doni serentak memandang heran pada Gendis yang tengah marah-marah, tapi tiga detik kemudian terbit senyum sambil menahan tawa dari dua pria tersebut.
Gendis yang kesal dan bercampur malu bergegas pergi dari tempatnya berdiri. Dia memutar tubuhnya lagi, lalu mempercepat langkah agar menjauh dan menghilang dari pandangan mereka.
Ketika jam makan siang, sebuah ketukan di pintu membuat Gendis menghentikan aktivitasnya yang sejak tadi menatap layar PC untuk menyelesaikan membaca daily report milik operator. “Iya masuk aja,” sahut Gendis sambil memandang pintu.
“Dis, enggak makan siang?” tanya Ganda setelah membuka pintu kantor dua detik lalu.
Dengan alis menyatu, Gendis yang masih menyimpan kesal pada Ganda karena kejadian tadi pagi, memilih tidak menjawab.
“Eh, malah diem. Gue ngajak makan siang bareng beneran ini. Kalau tadi pa―”
“Duluan aja, lah!” potong Gendis dengan nada ketus.
Ganda tertawa pelan, “Galak bener. Ayo makan deh, jangan kerja melulu.”
“Sejak kapan kamu jadi intens nanyain soal makan ke aku?” tanya Gendis blak-blakan. “Kamu obsesi ngajak aku makan?” sungutnya.
Bukannya menjawab, Ganda justru masuk ke ruangan Gendis lalu menutup pintu dan mengempaskan dirinya di salah satu kursi di depan meja kerja perempuan itu.
Kali ini dahi Gendis yang berkerut, semakin tidak mengerti dengan sikap aneh Ganda, “Kamu ngapain duduk situ?” Gendis menatap heran.
Ganda membalas tatapannya. Diperhatikannya dua mata dengan iris berwarna cokelat yang tampak redup. Sorot mata penuh semangat, ketegasan, dan ambisi tinggi itu telah menghilang. Kini, Ganda hanya melihatnya sebagai perempuan bermata sayu yang menunjukkan kelelahan. Lalu pandangan Ganda beralih ke beberapa tumpuk kertas serta ordner yang tergeletak sembarangan di ujung meja. “Masih ngecek laporan QC?” tanya Ganda mengalihkan topik.
“Pertanyaanku belum dijawab, sudah lempar pertanyaan lain,” gerutu Gendis sambil memasukkan setumpuk kertas ke dalam ordner.
Ganda menyandarkan diri ke punggung kursi sambil melihat ke sekeliling ruangan, “Baru kali ini gue di sini lebih dari dua menit.” Ganda menyapukan pandangan ke deretan ordner hitam dengan stiker yang menunjukkan jenis dokumen di dalamnya dan berjejer rapi di rak. “Oke. Gue jawab pertanyaan lo tadi. Kenapa gue akhir-akhir ini sering nanyain lo soal makan? Ya karena gue enggak ngerti kudu bahas apa lagi waktu ketemu lo, Dis. Dan gue merasa perlu tanya aja walau sekadar basa-basi. Wajar lah, udah dua tahun jadi temen kerja juga, kan.”
“Terus soal kirim-kirim makanan dulu itu?” Gendis memicingkan mata.
“Hei. Gue cuma kirim dua kali. Waktu yang pagi-pagi dan itu juga akhirnya lo ganti traktir gue, kan. Kedua, pas lo lembur, ya itu karena kebetulan gue juga lagi beli aja. Sudah itu doang, kenapa jadi dibikin gede sih, Dis?”
“Sikapmu itu enggak normal, Ganda. Normalnya, kamu itu cuek dan enggak akrab sama aku. Wajar dong kalau aku tanya, ya mungkin kamu ada maksud tertentu.” Gendis menarik napas sebelum melanjutkan ucapannya. “Ternyata kamu masih sama aja ya, masih suka menyimpulkan seenaknya tentang orang lain.”
“Jadi sudah ya, Nda, mulai sekarang jangan ada lagi pertanyaan tentang makan walaupun itu cuma basa-basi, enggak perlu lagi beli-beliin makanan. Cukup bersikap dingin seperti biasanya and I’m so fine. Don’t pity me. I usually live alone, anyway,” lanjutnya dengan memberi penekanan pada intonasi bicaranya.
Ganda terdiam. “I’m terribly sorry about that. Gue gak bermaksud menyinggung lo,” ucapnya sembari menggerakkan ujung jari telunjuknya menyusuri pinggiran meja. “I just want to be friends with you, beneran enggak ada maksud lain.”
“Oke, and I don’t want to be your friend. Case closed.” Gendis membuat isyarat dengan kedua tangannya.
“Dis, lo tau enggak sih, gue merasa aneh dengan pembicaraan ini. Kita sudah sama-sama dewasa kali untuk bisa mengartikan sikap seseorang, dan biasanya cewek lain enggak ada yang nolak kalau gue kasih perhatian ke mereka. That is, my concern does not bother them much, and they never refuse like you.”
Gendis sontak tertawa dengan mata terbelalak. Bisa-bisanya pria di depanya ini begitu percaya diri. “You’re too confident, Nda. Dan perlu digarisbawahi, I’m not one of them.”
“Oh, atau … jangan-jangan lo yang salah mengartikan perhatian gue ke lo lagi.” Ganda juga tertawa, tapi terdengar seperti mengejek.
Amarah Gendis terasa naik ke kepala, Ganda seakan memancing emosinya sejak tadi. “Ganda, kamu masih enggak paham, ya. Aku menolak menjadi temanmu dan aku bukan termasuk orang-orang yang kamu bilang tadi, oke? Case closed, and please stop all this shitting talk!” Gendis menunjuk pintu di depannya, memberi isyarat agar pria itu segera keluar dan mengakhiri percakapan tidak berguna siang ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
Chick-LitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...