Untuk kali ini, Gendis menyerah, dia tidak tahu harus kemana agar tidak diganggu oleh Ganda. Ganda masih terus mendatangi rumahnya dan rumah Ajeng, berusaha mengajaknya bicara walaupun Gendis sudah menegaskan kemarin malam bahwa hubungan mereka telah selesai.
Hampir empat bulan Gendis tidak pernah mengunjungi tempat ini. Paradise masih sama, masih didominasi lampu light moon yang terasa hangat karena berpadu dengan dinding kayu ala Skandinavia. Di belakang para bartender yang berjajar terdapat sebuah rak kayu besar berisi botol-botol minuman dengan berbagai bentuk yang unik. Alunan musik di bar juga tidak sekeras di diskotik, pengunjung masih dapat mengobrol tanpa harus berteriak.
"Mbak Gendis? Ya ampun, lama banget enggak pernah ke sini, Mbak," sapa Roni yang ternyata masih bekerja sebagai pramutama atau bartender bar di Paradise. Penampilannya masih sama dengan rambut curtains ala 90-an yang dulu kerap ditemui pada anggota boyband terkenal.
Gendis merespon dengan senyum sambil menarik kursi tinggi tepat di depan Roni. "Apa kabar, Mas Roni?"
"Baik, Mbak. Situ juga apa kabar? Saya kira pindah ke luar kota gara-gara enggak pernah muncul lho," ucap Roni dengan akrab, masih seperti dulu. "Dry martini, Mbak?" tanyanya setelah Gendis sudah duduk dengan nyaman.
Gendis mengangguk. "Aku kangen lho sama dry martini buatan Mas Roni," kelakar Gendis. Dia tengah mencoba berinteraksi dengan orang lain yang katanya sebagai cara paling ampuh untuk mengusir masalah dari pikirannya.
"Siaap, saya buatkan yang spesial ya," ucapnya sambil mengambil gelas kaca.
Gendis sesekali tertawa ketika berbincang dengan Roni. "Menurut saya, Mbak Gendis ini seleranya agak unik sih, cewek-cewek biasanya lebih suka margarita atau cocktail manis. Lha situ malah suka dry martini."
"Aku enggak butuh minuman yang manis, Mas. Cukup satu yang segar, tapi menenangkan." Gendis mengambil ponselnya yang terus bergetar, sebuah nama tertera pada layar. Ganda. Mungkin sudah hampir ratusan kali dia menelepon sejak mereka bertengkar, tapi tidak dijawab oleh Gendis.
Gendis mematikan ponselnya lalu memasukkannya ke dalam tas. Melepas blazer yang sejak tadi masih dia pakai lalu meneenggak segelas dry martini yang baru saja disodorkan Roni dalam sekali teenggak.
"Mbak Gendis ada masalah?" tanya Roni setelah melihat Gendis minum seolah tanpa bernapas.
Gendis meletakkan gelas dengan kening berkerut. "Kenapa? Keliatan banget ya?"
Roni mengangguk dengan tersenyum kecut. "Gara-gara cowok ya, Mbak?"
"Gitu deh. Semuanya enggak ada yang berhasil. Rasanya sia-sia menghabiskan waktu untuk yang enggak perlu. Kamu jangan gitu ya, kalau sudah nemu satu yang cocok jangan main-main, waktu enggak bisa diputar lagi."
"Ternyata situ bisa ngomong panjang juga ya," celetuk Roni sambil tertawa pelan. "Mau di-refill enggak tuh gelasnya?" tawar Roni sambil melirik gelas Gendis yang sudah kosong.
"Mau dong." Gendis menyerahkan gelasnya kembali pada Roni.
"Mbak, kalau misalnya, ini misalnya ya. Misalnya Mbak Gendis butuh psikolog saya bisa kenalin ke sepupu saya. Kebetulan dia baru buka praktek di Surabaya sekitar delapan atau sembilan bulan lalu. Kalau aja Mbak Gendis butuh pendengar, temen ngobrol atau pemberi solusi dia bisa kok, Mbak," ucap Roni dengan tulus dan senyum. Gendis paham, dia tidak bermaksud menyinggung dirinya.
"Oh ya? Di Surabaya mana, Mas? Kebetulan aku sudah ke psikolog sih, Mas Ron, di daerah Dharmawangsa."
"Lho, sepupu saya buka klinik praktik di Dharmawangsa juga, Mbak."
"Oh ya? Bukannya di daerah situ cuma ada satu ya? Bentar, sepupunya mas Roni namanya Randu?"
Roni menepuk dahinya. "Ya ampun, jadi Mbak Gendis sudah kenal sama Randu? Iya, dia tuh sepupu saya, Mbak." Kini Roni justru terbahak-bahak karena tidak mengira bahwa Gendis sudah mengenal sepupu sekaligus psikolog yang akan direkomendasikannya.
"Dunia tuh sempit banget ya, Mas," ucap Gendis ikut tertawa. Ah, sekarang Gendis merasa sedikit lega karena bisa meregangkan otot wajahnya yang beberapa hari ini terus menangis. Kepalanya juga terasa ringan karena sosok Ganda seolah lenyap dari pikirannya.
"Mau saya teleponin dia, Mbak? Biar bisa jadi temen ngobrol Mbak Gendis di sini." Roni menyerahkan gelas kedua dry martini pesanan Gendis.
Gendis menggoyangkan tangan, "Jangan, Mas. Kapan-kapan aja biar aku bikin janji sendiri sama Randu." Gendis belum siap menceritakan banyak hal menyangkut peristiwa beberapa hari ini yang hampir merusak emosinya hingga seperti kembali ke Gendis yang dulu.
Setelah menghabiskan tujuh gelas hingga Gendis merasa pusing, bahkan memaksa Roni untuk membuatkanya segelas lagi, tapi ditolak oleh Roni karena Gendis yang sudah tipsy, akhirnya dia memilih pulang dengan taksi.
Di dalam taksi pun, Gendis kebingungan harus pulang kemana. Ke rumahnya, ke rumah Ajeng, ke rumah Ganda atau ke rumah Faris. Hingga hampir setengah jam si sopir taksi menunggu dengan sabar sambil berputar-putar mengelilingi kota, Gendis memutuskan untuk pulang ke rumah Faris.
"Gendis?" Abi yang membukakan pintu karena ketukan berkali-kali tampak terkejut melihat Gendis di depannya. Gendis tersenyum dengan mata tidak fokus sama sekali, jalannya sempoyongan.
"Kamu minum, ya!" Hampir saja Abi berteriak karena menyadari ada yang tidak beres dengan sang adik. Untungnya Faris sudah berada di kamar di lantai dua.
"Haii ... Mas Abi. Aku ke atas dulu ya," ucap Gendis sambil berusaha menaiki tangga menuju kamarnya.
Mau tidak mau Abi mengangkat Gendis agar berada dalam gendongannya. Abi tidak mau Gendis terluka karena hal konyol yang dia lakukan saat mabuk. "Kamu kenapa lagi sih, Ndis?" gumam Abi sambil menaiki tangga satu per satu.
"Aku kangen Mas Abi. Aku kangen bertengkar sama Papa. Tapi aku juga pengin tinggal sama Mama," oceh Gendis.
"Kamu minum sendirian? Kemana Ganda?" tanya Abi walaupun dia tidak mengharapkan sebuah jawaban benar dari seseorang yang tipsy.
"Ganda ... Ganda ... Aku benci Ganda, Mas ...." Gendis mengalungkan tangannya ke leher Abi lalu menangis dengan menenggelamkan wajahnya di tengkuk Abi.
"Kamu berantem sama Ganda?" Abi membuka pintu kamar Gendis yang tidak terkunci. Semuanya masih sama, barang-barang milik Gendis masih ada di sana. Sprei tempat tidur juga diganti setiap hari agar jika sewaktu-waktu Gendis pulang, kamarnya masih terawatt rapi.
"Aku benci Ganda ...." ucap Gendis di antara tangisnya.
Abi menidurkan adiknya di tempat tidur, melepaskan sepatu yang masih dipakai Gendis kemudian menyelimutinya hingga ke leher. Abi merapikan anak rambut Gendis yang berjatuhan di dahi, sejak dulu Abi selalu menomor satukan adik perempuannya.
Baginya, melihat Gendis seolah melihat dirinya di cermin. Jika Gendis senang maka Abi juga bahagia. Namun, jika Gendis menangis justru Abi merasa bersalah. Menurut Abi, hidupnya lebih baik dibandingkan Gendis sebagai perempuan yang terluka karena keluarga.
Berkali-kali Gendis dikecewakan oleh orang-orang di dekatnya. Ajeng yang pergi dan Faris yang tidak peduli, karena itu Abi merasa tidak berhak menyakiti hati Gendis. Abi masih bisa berdiri lagi setelah jatuh berkali-kali, tapi Gendis tidak. Sekali Gendis jatuh dia terlalu rapuh untuk kembali utuh.
Abi tahu betul, ketika Gendis membenci seseorang artinya dia telah dikecewakan. Dan sekarang nama Ganda disebut oleh Gendis ketika mengigau. Gendis membenci Ganda. Gendis telah dikecewakan oleh Ganda.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
ChickLitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...