Gendis berhasil menenangkan diri setelah dua hari mendekam di dalam rumah. Tentu saja berkat bujukan Ganda agar dia kembali bekerja. Tugas rumah yang diberikan psikolog masih berusaha Gendis selesaikan.
Akan tetapi, dia makin bingung dengan perubahan emosi yang sering datang tiba-tiba sepulang dari klinik psikolog. Terkadang, dia ingin menangis walau tidak ada penyebabnya. Gendis juga bisa menjadi sangat kesal dengan sikap Ganda yang sebenarnya sepele. Suatu waktu, Gendis juga bisa merasa senang karena hal-hal kecil. Sayangnya, pikiran Gendis lebih banyak dipenuhi dengan cara memperbaiki hubungannya dengan Pak Faris, Abhi dan Bu Ajeng yang makin lama justru makin berlarut dan saling menjauh.
"Enggak apa-apa, itu artinya kamu lebih sensitif. Besok kalau konsul lagi bisa dibicarakan sama psikolog," ucap Ganda setelah Gendis mengatakan keluhannya ketika mereka makan siang bersama di kantin. "Masih sering pusing enggak?" tanya Ganda sebelum mengambil satu suapan nasi soto.
Gendis menggeleng kemudian menghela napas pelan.
"Kenapa?" Ganda memandang wajah kekasihnya yang lesu.
"Sampai kapan kayak gini?" Gendis menjauhkan mangkuk soto dengan sisa separuh nasi, dia seolah kehilangan nafsu makan.
Ganda meletakkan sendok lalu memandang Gendis sambil tertawa pelan. "Dis, let it flow. Biarkan semua mengalir, jangan jadikan beban, tapi anggap ini proses menjadikan dirimu lebih kuat. Kalau kamu tanya sampai kapan, ya cuma kamu yang tahu jawabannya."
Gendis cemberut, "Ngomong sih gampang."
Alis Ganda menyatu begitu mendengar perkataan Gendis. "Oke, aku enggak akan ngomong lagi," ucapnya lalu diikuti gerakan menyuap makanannya kembali. Ganda cukup mengerti bahwa porsi kesabarannya harus ditambah karena mood swing Gendis yang makin menjadi-jadi.
Tiba-tiba sebuah suara menghentikan keheningan di antara mereka. "Kalian kalau enggak makan siang bareng gitu enggak bisa, ya?" tanya Adine sinis sambil memegang mangkok.
"Lo kalau mau duduk di sini ya tinggal duduk aja, enggak perlu ngomongin hal-hal yang enggak berguna," tandas Ganda.
Adine menaikkan kedua ujung bibirnya ke atas kemudian mengambil duduk di samping Ganda. "Oke, aku duduk di sini biar enggak ada yang ngomongin kalian diam-diam."
Gendis menjadi jemu melihat sikap Adine, dan seharusnya dia tahu kalau harus secepatnya menyingkir dari meja lalu kembali ke ruangannya. Namun, entah mengapa siang ini dia sedang enggan mengakhiri jam istirahatnya yang baru mencapai lima belas menit dari satu jam.
Ganda bergeming, dia menatap Gendis yang seperti tidak ada rencana berdiri. Biasanya, Gendis segera pergi jika Adine datang dan mulai mengganggu.
"Kamu kok betah banget di deketnya Ganda, Ndis?" tanya Adine setelah meniup satu sendok nasi dengan kuah yang masih panas.
"Din, lo ke sini mau makan atau cari masalah?" ucap Ganda dengan suara pelan.
Adine menoleh ke kiri. "Tumben ngomongnya pelan, kenapa? Takut yang lain tahu kalau kalian pacaran? Tenang aja, satu kantor udah tahu semua kok."
Gendis menyandarkan punggung ke kursi sambil melipat lengan. "Kamu juga kayaknya betah banget ikut campur urusan orang lain," ucapnya dingin dengan pandangan tidak lepas dari Adine.
"Ganda bukan orang lain, Ndis. Kamu enggak penasaran sesuatu? Padahal aku pengin ceri—"
"Dis, balik ke kantor aja, yuk." Ganda memotong ucapan Adine.
Gendis melihat arloji yang berada di tangan kiri. "Masih ada setengah jam, Nda. Kamu kalau mau balik duluan enggak apa-apa kok," ujarnya tanpa memandang Ganda karena masih menatap arloji, tapi ekor matanya berhasil menangkap Adine yang tertawa kecil sambil mengaduk nasi di mangkok.
Raut wajah Ganda sedikit terkejut bercampur khawatir, dia berusaha mengatur raut wajahnya agar tetap memperlihatkan bahwa dia seakan tidak terpengaruh dengan ucapan Adine yang mulai memancing emosi.
"Jadi, kenapa kamu sebut Ganda bukan orang lain?" tanya Gendis dengan nada lugas.
"Tunggu aku selesai makan, aku enggak bisa jelasin sambil makan," kata Adine setelah menyuapkan sesendok nasi ke mulut.
"Kamu tahu kan, aku sama Ganda menjalin hubungan? Jadi, sebaiknya jangan terlalu dekat atau ikut campur masalah kita. Kalau kamu mau ngomongin ini ke siapa pun, silakan. Aku enggak akan cegah asalkan kamu enggak menyebarkan informasi yang enggak perlu," ujar Gendis yang masih melipat tangan.
Ganda dan Adine tersentak, mereka tidak percaya dengan kalimat yang Gendis ucapkan barusan. Selama ini, Gendis selalu berusaha menutupi hubungannya dengan Ganda dan tidak mengambil pusing tentang apa pun yang dia dengar dari orang lain, termasuk tentang sesuatu yang menyangkut Ganda.
Biasanya Gendis akan menghiraukan dan lari sebelum menghadapi sesuatu yang bisa menimbulkan percikan masalah, tapi kali ini berbeda. Dia justru melangkah mendekati sesuatu itu yang sebenarnya ingin dia hindari. Sesuatu yang dulu menurutnya sepele, tapi berujung memenuhi pikirannya setiap hari. Itu dulu. Namun, baginya sekarang semua hal yang menyangkut Ganda dan hubungan mereka tidak bisa lagi dianggap sepele.
Ganda meraih gelas dan meminum isinya hingga habis, dia bisa menebak apa yang akan Adine ucapkan setelah ini. Sesuatu yang dia simpan rapat agar Gendis tidak tahu atau sebenarnya Ganda yang terlalu takut jika Gendis tahu tentang sesuatu itu dan membuat hubungan mereka berubah.
"Tapi menurutku kamu perlu tahu soal ini. Iya kan, Nda?" Adine melirik Ganda.
"Aku tunggu sampai kamu kasih info itu. Aku enggak mau ada salah paham antara aku sama Ganda gara-gara kamu."
Adine menahan tawa, dia mengurungkan niat untuk memakan suapan nasi selanjutnya. "Kamu apain Gendis sampe dia bisa berubah kayak gini?" tanya perempuan itu pada pria di sampingnya.
Ganda memilih bersikap tidak acuh pada Adine yang makin membuatnya kesal. "Dis, aku aja yang cerita ke kamu, semuanya. Tapi jangan di sini. Bukannya lebih baik denger dari aku langsung?"
"Sejauh ini kamu memilih enggak cerita mungkin karena dua alasan, Nda. Pertama, karena kamu takut atau kedua, karena sebenarnya kamu ingin melupakan itu. Jadi, biar dia aja yang cerita." Gendis menunjuk Adine dengan dagu.
Gendis benar, Ganda memiliki dua alasan itu. Namun, yang paling utama adalah justru Ganda takut jika dia sendiri yang meninggalkan Gendis karena tidak ingin melihat Gendis kecewa padanya. Selama ini, Gendis selalu berpegangan pada Ganda di setiap masalah yang dia hadapi. Gendis terlalu banyak mencurahkan kepercayaannya pada Ganda dan pria merasa tidak berhak menyakitinya.
"Bisa enggak kita omongin ini di luar setelah jam kerja?" Ganda menengahi.
Kedua wanita itu bergeming. Sepertinya mereka tidak keberatan mencampur adukkan urusan pekerjaan dengan urusan pribadi.
Kantin mulai sepi, menyisakan beberapa orang yang terlambat istirahat dan mengambil tempat duduk jauh dari mereka bertiga. Gendis meraih gelas di depannya yang menyisakan seperempat air mineral, sedangkan Ganda masih terus menatap Gendis, berharap Gendis berubah pikiran dan tidak ingin mendengarkan ocehan Adine untuk saat ini.
"Aku pernah tidur sama Ganda," kata Adine dengan merendahkan suara, tapi cukup jelas terdengar di telinga Gendis. Adine menoleh ke arah Ganda sambil tersenyum. Puas karena sudah berhasil memorak-porandakan hubungan dua orang itu.
Gendis tidak berhasil menyentuh air walaupun bibirnya sudah menempel pada bibir gelas. Sepertinya air itu tidak ingin bergerak dari tempatnya apalagi diteguk oleh wanita yang kini merasakan hatinya jatuh entah kemana.
Gelas di tangan Gendis melayang seolah gerakannya sedang dihentikan padahal waktu masih terua berputar. Dia membenarkan ucapannya tadi, beberapa menit lalu tentang alasan Ganda yang tidak menceritakan hal ini sebelumnya. Mungkin Ganda benar-benar tahu bahwa Gendis akan pergi setelah mendengar ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
ChickLitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...