Chapter 20 - Satire

1.3K 92 2
                                    

"Tadi ngobrol apa sama Adine?" tanya Gendis sebelum menyuapkan makan siangnya. Awalnya, Gendis menolak ajakan Ganda saat pria itu menghampirinya ke ruangan. Namun, karena Ganda terus memaksanya untuk menemani makan siang, berakhirlah Gendis duduk di hadapan sang kekasih siang ini.

"Kapan?" tanya Ganda yang tengah membersihkan sendok dengan tisu.

"Tadi pagi, waktu aku jalan duluan ke kantor. Aku sempet noleh sebentar, aku lihat kamu lagi ngomong sama dia."

"Oh itu, dia lagi nanyain stock spare part di gudang."

"Kenapa dia yang nanya? Emang dia pegang data barang inventaris punya enggineer juga?"

"Dititipin Tomi, kalau dia pas ketemu aku, disuruh nanyain. Kenapa sih? Cemburu ya?" goda Ganda.

"Iya," jawab Gendis setelah selesai mengunyah.

Ganda sontak mengangkat kepalanya sambil menyatukan alis. "Dimana-mana ya, Dis. Setahu aku nih, ya, kalau cewek ditanya 'cemburu ya?' pasti jawabnya, 'iiih eenggak ... siapa yang cemburu ...' Kamu kok to the point banget." Ganda bicara dengan menggunakan mimik wajah lucu.

"Aku, kan bukan cewek yang dimana-mana itu," ucap Gendis terkekeh.

"Iya juga, sih. Harusnya aku bersyukur ya, kamu cemburu. Ya udah lah, kenapa aku jadi bingung." Ganda menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. "Jadi gimana, kapan mau nemui mama kamu?" tanyanya lalu mulai menyendokkan makanan ke mulut.

Bola mata Gendis menatap ke atas seperti tengah berpikir. "Harus bahas ini lagi, Nda?" tanyanya kemudian.

"Mau sampai kapan menghindar dari situasi? Bukannya kamu sendiri juga khawatir?"

Gendis memandang Ganda sejenak lalu menundukkan kepala. "Aku masih belum bisa ketemu Mama, Nda."

"Enggak pengen nyoba? Aku temenin, Dis. Ya?" Kali ini Ganda meletakkan sendoknya.

Gendis berpikir dalam diam dengan mulut mengunyah.

"Lama-lama saya lihat, kalian makin dekat, ya." Sebuah suara mengagetkan keduanya, sontak mereka menoleh ke arah yang sama. Deril―atasan Gendis―sedang duduk di bangku samping mereka sambil menuangkan air mineral ke dalam gelas.

"Eh, Pak Deril tumben makan siang di kantin," sapa Ganda ramah tanpa memedulikan kalimat yang diucapkan oleh Deril tadi.

"Iya, saya lagi banyak kerjaan di kantor. Laporan staf enggak ada yang bener, Nda, terpaksa saya re-check semuanya," sindir Deril.

Gendis tahu betul, kalimat tersebut ditujukan padanya, tapi dia diam saja walaupun sebenarnya dia ingin sekali membekap mulut bapak paruh baya di sebelahnya itu.

"Justru karena itu, kenapa gaji Bapak tinggi, kan untuk mengarahkan staf bawahan," ucap Ganda.

"Ini, sih bukan mengarahkan namanya, tapi saya jadi double job. Apa gunanya punya staf bawahan kalau begini?" tanya Deril satir.

Ganda menanggapinya dengan tawa. "Asal bonus masih ngucur aja, kalau saya jadi Bapak, sih enggak masalah. Toh si bawahan juga pasti belajar dari pengalaman, kan? Anggap aja Bapak lagi invest waktu sama kesabaran."

"Invest itu tentang uang, Nda, tentang harta. Mana ada invest sabar? Lagian kesabaran saya sudah habis karena bawahan saya selalu buat masalah." Deril masih saja bicara dan Gendis hanya bisa berpura-pura tidak mendengarnya.

"Pak, justru kalau bawahan Bapak bikin masalah artinya dia hidup dinamis. Coba kalau dia begitu aja dari awal kerja pasti hidupnya stagnan dan di titik itu terus, enggak akan naik level profesionalitasnya dia. Dengan adanya problem dia jadi belajar menyelesaikan, kan," ujar Ganda panjang. Anehnya, Deril tidak menyela sama sekali, dia justru tertawa mendengar penuturan pria itu.

"Kamu ini sok tahu banget. Pantesan Mr. Felix kasih posisi manajer di usiamu yang masih muda ini, lha kamunya pinter ngomong begini, Nda," decak Deril. "Tapi ... bener juga yang kamu bilang. Harusnya bawahan saya sekarang jadi lebih pro ya?"

"Saya jamin, Pak. Dia pasti merasa bersalah dan berjanji pada dirinya sendiri untuk bekerja lebih baik dan hati-hati," kata Ganda sambil melirik Gendis yang tidak tertarik sama sekali untuk bergabung dalam pembicaraannya dengan Deril.

Tanpa terasa, piring Gendis kini telah bersih dan dia sudah beranjak dari duduk.

"Sudah selesai makannya, Ndis? Makan yang banyak biar tenagamu juga banyak kalau mau bikin masalah," ucap Deril tanpa beban.

Gendis menghela napas. "Saya duluan ya, Pak Deril, Pak Ganda," pamit perempuan itu sambil mengangguk pada kedua manajer di hadapannya, kemudian menuju keranjang piring kotor. Telinganya sempat mendengar pertanyaan Pak Deril ketika dia baru tiga langkah menjauh.

"Kamu sama Gendis ada hubungan apa?" tanya Deril pada Ganda yang masih meneruskan makan siang.

"Hubungan apa, Pak? Kami, kan memang teman kerja," jawab Ganda santai.

"Enggak, enggak. Saya tahu betul, Gendis selalu makan siang sendiri. Kok sekarang dia mau makan siang semeja sama orang lain apalagi sama kamu? Gini-gini saya mengikuti rumor yang beredar di Three Mountains lho."

Ganda terbahak. "Ya itulah pesona saya, Pak. Saya bisa buat Gendis mau makan semeja sama saya, bukankah itu pencapaian hebat? Ini bisa jadi poin buat saya lho, Pak, kalau HR lagi evaluasi kinerja karyawan."

"Iya, sepuluh poin di keterampilan komunikasimu. Bisa langsung dirotasi jadi marketing manager, tuh," sahut Deril yang ikut tertawa.

Gendis mencibir kedua pria itu, ternyata mereka sama saja. Suka sekali membicarakan orang di depan orangnya, tidak tanggung-tanggung dan tanpa beban, heran.

Tepat saat Gendis melangkah keluar dari kantin, ponselnya bergetar, dilihatnya nomor yang tertera pada layar. Itu nomor Ajeng .

"Mama?" gumam Gendis pelan lalu dia menuju bawah tangga yang sepi. Ditatapnya ponsel dalam genggaman, dia bimbang untuk menekan tombol hijau.

Hingga tiga puluh detik berlalu dan layar ponsel milik Gendis masih berkedip menandakan telepon masuk yang belum dijawab olehnya sejak tadi. Tangannya bergetar, mencoba memberanikan diri untuk menggulirkan layar ponselnya.

"Halo?" sapa Gendis akhirnya.

"Halo, Gendis?" Sebuah suara terdengar lega bercampur bahagia. Gendis bisa merasakan, wajah Bu Ajeng tengah berbinar sambil tersenyum sekarang. "Ini, Mama, Ndis," ucap Ajeng, padahal tanpa dia memberi tahu, Gendis sudah sangat mengenal suaranya.

"Iya ...." Tenggorokan Gendis tercekat, sakit, parau, dan rasanya ingin berteriak sambil menangis saat ini juga.

"Gendis lagi kerja ya? Maaf mama ganggu. Em ... mama pengin ketemu Gendis, bisa?" tanya Ajeng berusaha menstabilkan suara untuk menyembunyikan kebahagiaan, sedangkan Gendis sendiri tidak mampu mengeluarkan suara.

"Gendis ... mama pengin ngobrol banyak sama kamu, sama Abi juga ... bisa beri mama waktu? Mama hanya ingin minta maaf ke kalian ...." Ajeng merendahkan suara.

Gendis menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakan. Setetes air mata telah bergulir ke pipi perempuan itu. Berbicara dengan sang mama dirasa jauh lebih sulit dibandingkan menerima kenyataan bahwa Gendis sudah pernah mendapatkan Surat Peringatan Level 3 dari Plant Manager.

"Halo? Gendis masih dengerin mama, kan?" ulang Ajeng. "Ndis, Mama janji ini pertemuan terakhir kita. Setelah itu mama enggak akan mengganggu Gendis lagi ...." Isakan terdengar dari suara Ajeng di seberang sana.

Gendis menutup telepon tanpa pamit, kini tangannya bergetar hebat. Dia berjongkok sambil menenggelamkan wajah diantara kedua lengannya. Sebenarnya dia hanya tinggal menjawab 'iya', tapi mengapa mulut Gendis terasa sulit untuk mengucapkan satu kata itu saja?

Satu kata yang membuatnya tersedu dan tak mampu sedikit pun untuk bicara. Padahal ada yang ingin dia ucapkan selain satu kata itu. "Mama enggak apa-apa, kan?"

***

TRACEABILITY (TAMAT ✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang