"Bangun, Dis. Kamu enggak kerja?" Ganda menepuk bahu Gendis pelan.
Gendis membuka mata perlahan kemudian meregangkan ototnya dengan merentangkan tangan.
Tiba-tiba Ganda mencium pipi kirinya hingga membuat Gendis terkejut.
"Ganda! Apaan, sih!" Perempuan itu memukul lengan Ganda dengan keras lalu segera menegakkan tubuhnya.
Ganda tersenyum lalu berganti mencium pipi kanan Gendis. "Ganda!" Gendis memekik pelan.
"Ini morning kiss, Sayang," ucap Ganda masih dengan senyum menghiasi wajahnya.
"Ada Mas Abi lho di sini." Kini Gendis mencubit pinggang Ganda.
"Aduh, Dis. Cubitanmu sakit tahu." Ganda mengusap pinggangnya yang terasa panas. "Abi udah berangkat dari pagi. Sarapan, yuk!" ajak Ganda sambil menarik tangan Gendis agar dia bangkit dari tempat tidur.
"Lima menit lagi ya, Nda," pinta Gendis dengan usaha merebahkan badannya lagi.
"Bukannya kamu paling semangat berangkat kerja, ya?"
"Ih, kata siapa." Gendis sudah kembali pada posisi tidur dan menutupi dirinya dengan selimut. "Mumpung bisa sehari berangkat agak telat. Kalau aku gantiin Pak Deril bisa-bisa aku berangkat subuh tiap hari. Kamu bakal merasa kehilangan lho," oceh Gendis dari balik selimut.
"Oh, jadi kamu maunya begini terus. Jangan nyesel ya kalau aku ikutan ke dalam selimut."
"Oke. Aku bangun, nih." Seketika Gendis berdiri dari tempat tidur, membuat Ganda sontak terbahak. "Yuk sarapan, Nda. Yuk, yuk!" ucapnya dengan canggung kemudian berjalan menuruni tangga.
Ganda masih belum bisa menghentikan tawanya, dia tahu betul Gendis tidak nyaman jika kontak fisik berlebihan dengannya karena itu ancaman Ganda tadi dirasa cukup manjur untuk membuat Gendis cepat beranjak dari kasur.
Gendis kembali berangkat kerja bersama Ganda, sudah tidak ada lagi yang tertarik dengan kedekatan mereka. Beberapa tampak tidak acuh dan beberapa masih saling berbisik. Adine masih bekerja di Three Mountains. Gendis kira, dia akan resign setelah pembicaraan mereka bertiga di kafe waktu itu. Nyatanya, Adine masih bertahan walaupun mereka tidak terlibat dalam obrolan apa pun bahkan untuk sekadar saling menyapa.
Ganda lebih memilih menghindar ketika berpapasan dengan Adine. Sedangkan Gendis, lebih memilih bicara dengan staf PPIC yang lain jika membicarakan pekerjaan atau ketika dia membutuhkan bantuan. Sebenarnya Gendis agak was-was dengan Adine, karena dia tahu bahwa Adine termasuk orang yang cukup nekat untuk melakukan apa pun demi keinginan dia. Dan sampai sekarang, Ganda lah keinginan Adine.
"Ndis, bisa ke ruangan saya sebentar," ucap Doni melalui telepon extention.
"Baik, Pak. Saya ke sana sekarang," jawab Gendis dengan penuh pertanyaan di benaknya.
Satu menit kemudian, Gendis sudah melewati pintu ruangan Doni—plant manager. Ternyata tidak hanya dia yang dipanggil ke ruangan Doni, di dalam telah menunggu tiga orang lainnya. Deril, Ganda, dan Gilang—engineering supervisor, bawahan Ganda langsung—.
"Duduk, Ndis," suruh Doni sambil menunjuk salah satu kursi kosong di dekatnya.
"Langsung saya mulai ya," kata Doni membuka pembicaraan siang ini. Gendis adalah orang terakhir yang ditunggu. Perempuan itu tampak agak kebingungan dengan panggilan mendadak plant manager.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
ChickLitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...