"Hai Wildan," sapa Gendis begitu memasuki pintu kafe dengan dua kantong kresek besar di tangannya.
"Mbak Gendis bawa apa, tuh?" tanya Wildan yang tengah mengelap meja di samping jendela dekat pintu.
"Beliin Ganda sama kalian," ucap Gendis dengan senyum sambil menyerahkan kedua kantong pada Wildan.
"Wah makasih, Mbak. Sering-sering begini, deh. Btw, sejak Mbak Gendis enggak tinggal di sini kafe jadi sepi, Mbak," seloroh Wildan.
Gendis hanya menanggapi dengan tawa kemudian matanya menangkap sosok yang dia kenal tengah duduk di salah satu kursi kafe.
"Hai, Ndis. Kamu pernah tinggal di sini juga?" sapa perempuan dengan cup berisi kopi di tangan kanannya.
"Juga?" Tawa Gendis berubah menjadi jengah setelah mendengar Adine bicara. "Din, kayaknya kamu perlu periksa ke psikiater deh, imajinasimu sudah melebihi kenyataan hidupmu."
Terlihat Ganda yang menggunakan kaos berwarna putih dengan celana jogger hitam menuruni tangga, wajahnya masih tampak pucat. Seketika dia terkejut saat melihat Gendis berdiri di depannya. "Gendis? Dari tadi?" Ganda membulatkan mata dengan wajah semringah.
"Udah baikan, Nda?" tanya Adine mendahului Gendis.
Ganda menoleh. "Kamu belum pulang dari tadi?" Dahinya membuat kerutan mengisyaratkan bahwa Adine hanya sebagai gangguan.
"Dia dari tadi?" Gendis menunjuk Adine, sedangkan Ganda hanya menjawab dengan mengangkat bahu. "Kamu enggak punya kerjaan, Din?" tanya Gendis heran. "Kayaknya kita perlu bicara bertiga," ucapnya lagi lalu berjalan menuju meja Adine dan mendudukkan dirinya di kursi.
Ganda justru tampak bingung dan cemas, tapi dia menuruti kemauan Gendis dengan kepala nyut-nyutan.
"Kenapa? Kamu mau putusin Ganda di depan aku?" Adine mulai berulah.
Gendis tidak menghiraukan ucapannya.
"Din, mulai sekarang jangan ganggu Ganda ataupun aku. Urusan kita cukup sebatas pekerjaan dan hanya di tempat ker-"
"Aku enggak ganggu kok," potong Adine cepat.
"Kamu enggak akan merasa ganggu, tapi aku dan Ganda yang terganggu sama sikapmu." Suara Gendis meninggi hingga beberapa pasang mata milik pegawai melihat ke arah meja mereka.
"Kamu tahu kan, kalau aku dan Ganda pernah ada sesuatu di masa lalu?" Adine tidak mau kalah dan ikut meninggikan suara.
"Itu masa lalu yang sebenarnya enggak pengin Ganda inget, Din. Ganda menganggapnya sebagai kesalahan dan kesalahpahaman," sahut Gendis.
"Kamu enggak usah ikut-ikut ya, Ndis. Waktu itu cuma ada aku sama Ganda, kenapa kamu yang sok tahu?"
Ganda menggenggam tangan Gendis di atas meja sambil menatapnya, memberi isyarat pada perempuan itu agar tidak meneruskan pembicaraan.
Adine yang melihat kedua tangan mereka bertautan tampak makin marah dan tidak suka.
"Din, gue perjelas sekali lagi ya. Selama ini gue cuma anggep lo temen, enggak pernah lebih dari itu. Masalah di apartemen lo, gue minta maaf, tapi seingat gue, gue enggak pernah ngapa-ngapain sama lo sekali pun gue lagi mabuk," ucap Ganda dengan suara berat.
"Enggak bisa gini, Nda. Kenapa kamu tiba-tiba jadi beralih ke Gendis?" Adine masih keras kepala.
"Ini enggak tiba-tiba, memang gue yang pilih jalan sama Gendis. Lo cuma obsesi sama gue, Din. Kalau lo tetep begini terus, ganggu gue dan Gendis, kayaknya lebih baik gue resign dari Three Mountains."
Gendis terkejut sambil menatap Ganda, ini enggak pernah ada di pembicaraan antara dia dengan Ganda. Setahu Gendis, justru Ganda berpotensi menggantikan Pak Doni sebagai plant manager di Three Mountains. Terlebih lagi Gendis tidak bisa menerima jika Ganda resign hanya karena urusan percintaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
ChickLitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...