Gendis baru akan membuka pintu ruangannya, tiba-tiba ada suara yang memanggilnya. Dilihatnya Ganda yang sedang memainkan kunci sambil bersiul, “Pagi, Dis. Sudah sarapan?” tanya Ganda dengan langkah mendekat.
“Belum,” jawab Gendis seperti biasa, singkat.
Ganda melihat arlojinya. “Mau makan dulu di depan? Masih jam tujuh, nih, lumayan ada waktu satu jam,” tawar Ganda.
“Aku enggak biasa sarapan,” ucap Gendis sambil memutar kunci ruangannya.
“Perut lo enggak bermasalah? Lo hangover, Dis.”
Gendis menatap tajam, “Kamu mau sekantor tahu kalau aku habis minum?”
“Sorry, Dis. Maksud gue kan ….”
“Ganda, aku ke sini mau kerja. Bisa enggak ganggu dan enggak sok akrab?”
“Oke, maaf.” Ganda beranjak dari tempatnya berdiri lalu menuju ke ruangannya yang terletak di ujung koridor.
Gendis memijit sebentar pelipisnya yang terasa nyeri, aneh biasanya dia akan baik-baik saja walau habis minum semalam, sepertinya terlalu lelah. Sepulang dari Makassar dia tidak memberi jeda istirahat untuk tubuhnya. Sudah mencoba membaringkan tubuh sepulang dari coffee shop Ganda tadi Subuh, tapi pikirannya masih melayang tentang Agung dan … tentang sang mama.
Kantor masih sepi, jam kerja dimulai pukul delapan pagi. Gendis memutuskan untuk mengunjungi field terlebih dahulu, mengingat dia belum berinteraksi langsung dengan staf di lapangan dalam beberapa hari ini. Biasanya masih ada operator system shift 3 di sana yang tengah beres-beres dan serah terima pekerjaan kepada operator shift 1 pagi ini. Ada waktu untuk berbasa-basi sebentar menanyakan kondisi proses produksi semalam.
Sapaan dari beberapa staf terdengar beberapa kali saat Gendis masuk ke mixing room produk ‘It’s Milk!’ atau susu pasteurisasi dalam kemasan paper pack, walaupun suara mereka juga sayup-sayup terdengar karena tertutup suara gemuruh dari sembilan tangki yang berjejer, Gendis masih bisa mendengarnya dan membalas singkat dengan anggukan serta tanpa senyuman tentunya. Beruntung, ada aturan wajib memakai masker saat di field, jadi raut wajah Gendis tidak terlalu terlihat. Semua staf paham betul sapaan mereka tidak akan dibalas lebih dari lima kata oleh si supervisor QC itu.
“Pagi, Bu Gendis,” sapa Rizal, staf quality control yang baru bekerja satu tahun di sana.
“Pagi,” jawab Gendis yang tengah memperhatikan layar Ultra High Temperature machine yang menunjukkan beberapa digit angka tentang suhu pasteurisasi, flow rate, heat temperature, dan lainnya.
“Ada masalah enggak?” tanya Gendis, menoleh ke arah Rizal yang berdiri di sampingnya.
“Aman, Bu. Oh ya untuk field report lima hari ini saya titipkan ke Bu Adine. Pak Deril lima hari ini juga enggak ada di kantor,” tutur Rizal yang berdiri mendekat agar Gendis dapat mendengar dengan jelas.
“Oke, nanti saya cek.” Setelah berbicara sebentar, Gendis meninggalkan mixing room lalu beralih menuju filling room yang terletak di sampingnya dan disekat oleh dinding dengan satu jendela. Untuk ke filling room, Gendis harus keluar dahulu dan masuk kembali melalui pintu yang berbeda.
Setiap akan masuk ke process room yang berbeda, semua orang harus melalui sanitary room untuk membersihkan diri terlebih dahulu diantaranya mencuci tangan dan menggunakan baju steril khusus yang hanya dipakai sekali. Walaupun dari mixing room Gendis sudah melakukannya, dia harus mengulangi hal yang sama saat akan memasuki filling room.
Setelah dua jam melihat kondisi field dan memastikan bahwa semua dalam kondisi baik, Gendis menuju kantor Production Planning and Inventory Control yang terletak di bangunan kantor paling depan. Three Mountains ini memang memiliki dua bangunan berbeda antara office dan factory.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
ChickLitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...