Ganda makin mengeratkan tangan pada Gendis karena wanita itu terus meremas punggung tangannya dengan kencang. Di hadapan mereka, Ajeng tengah tersenyum lega. Putri satu-satunya bersedia bertemu walaupun sebelumnya Ajeng harus mengatakan bahwa ini adalah pertemuan terakhir mereka. Ironis.
"Tante, apa kabar?" tanya Ganda begitu Ajeng datang dan mengambil tempat duduk di seberang kursi Gendis.
"Baik, Nak Ganda. Kalian bagaimana?"
"Kami juga sehat, Tan. Audit juga lancar berkat Tante Ajeng," kata Ganda basa-basi, tapi justru membuat Ajeng tertawa.
"Ya, enggak ada hubungannya, toh. Memang Three Mountains layak dapat akreditasi A, temuan minor di water treatment juga berhasil diselesaikan dengan tindakan perbaikan." Ajeng menjawab dengan ramah dan senyum yang tidak hilang dari wajahnya sejak tadi.
"Ah, kok jadi bahas kerjaan ya, Tan." Ganda mengusap tengkuk, situasi sekarang terasa sangat canggung. Ibu dan anak dalam satu meja ini enggan saling menatap dan bicara satu sama lain. Ganda juga bingung harus memulai dari mana karena dia tidak terlibat dengan permasalahan mereka.
"Em ... Tante, saya minta maaf karena harus bergabung di pertemuan Tante dengan Gendis. Sebenarnya ... Gendis belum berani bertemu empat mata dengan Tante, mungkin Tante sendiri juga sudah tahu," terang Ganda membuka tujuan pertemuan malam ini. "Jadi, saya yang memaksa Gendis agar mau bertemu dan bicara dengan Tante, tapi saya terpaksa ikut campur," lanjutnya dengan nada kikuk.
Ajeng tersenyum, lalu beralih memandang Gendis yang sejak tadi hanya menurunkan pandangan menatap meja.
"Enggak apa-apa, tante paham. Tante justru terima kasih ke Nak Ganda karena sudah mau repot meluangkan waktu untuk mempertemukan kami. Maaf karena harus melibatkan Nak Ganda." Ajeng menyatukan tangannya di atas meja. Wajahnya tampak pucat dan menunjukkan lelah.
"Saya enggak merasa direpotkan kok, Tante." Ganda membalas senyum. "Saya tinggal pesan makanan dulu ya, Tan." Pria itu beranjak dari kursi dan Ajeng hanya menjawab dengan anggukan. "Dis, just enjoy the time to talk," ujar Ganda sambil menepuk bahu Gendis.
Sepeninggal Ganda, Ajeng membuka suara. "Gendis sehat, kan?" Pertanyaannya menyiratkan kesedihan.
Gendis memberanikan diri mengangkat kepala, dipandangnya wajah wanita yang melahirkannya dua puluh sembilan tahun lalu. Gendis mengangguk pelan.
"Mama seneng, Gendis mau ketemu, ada beberapa yang ingin mama sampaikan ke Gendis, sebenarnya dengan Abi juga. Tapi, tadi mama telepon Abi katanya masih di luar kota," tutur Ajeng.
"Masih teleponan sama Mas Abi?" tanya Gendis dengan suara parau.
"Hampir tiap pagi Abi telepon mama," terang Ajeng yang membuat Gendis sedikit terkejut. Dia kira, selama ini kakak laki-lakinya itu sudah tidak peduli dengan sang mama, tapi ternyata justru sebaliknya.
Gendis tahu betul, Abi juga sama terlukanya dengan Gendis saat Ajeng meninggalkan mereka di usia belia. Tanpa berpamitan, tanpa ada pembicaraan. Suatu hari ketika mereka pulang sekolah, rumah berantakan, barang pecah belah hancur berserakan di segala penjuru.
Sebenarnya mereka sudah tidak asing mendengar pertengkaran orang tuanya, tapi Gendis tidak pernah mengira bahwa Ajeng dengan tega pergi meninggalkannya dengan Abi dan tidak pernah sekali pun menemui mereka selama ini. Faris―papa Gendis―hanya mengatakan bahwa keduanya bercerai dan sang mama tidak mau lagi tinggal bersama mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
Chick-LitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...