"Mas Abi? Tumben ke sini malem banget. Masuk yuk, Mas," ucap Gendis seraya membukakan pagar begitu melihat siapa yang memencet bel rumahnya di jam sepuluh malam ini.
"Kamu sudah tidur?" tanya Abi karena wajah Gendis menunjukkan lelah.
Gendis menggeleng, "Belum kok."
"Aku bawa wedang ronde nih, Ndis." Abi menyerahkan kantong kresek yang dipegangnya.
"Wah, favorit pas abis ujan begini. Bentar, aku pindah dulu ke mangkok." Abi mengikuti Gendis masuk ke rumah sambil melihat ke sekeliling.
"Sendirian?" selidik Abi.
"Iya lah, mau sama siapa lagi."
"Aku kira ada Ganda di sini."
Gendis tertawa sambil menyerahkan wedang ronde di dalam mangkok pada Abi yang duduk di sofa depan televisi. "Ini beli di tempat biasanya, Mas?" tanya Gendis setelah menyeruput sesendok wedang yang menghangatkan tubuhnya.
"Iya, di Manyar. Kesukaanmu, kan."
Gendis mengangguk senang.
"Aku ke sini pengin ngomong sesuatu sama kamu, Ndis."
"Ah iya, soal tempo hari waktu itu ... aku minta maaf, Mas. Aku nyesel sih ngomong gitu ke Mas Abi, mungkin waktu itu lagi marah jadi ngomongnya ke mana-mana." Gendis meletakkan mangkoknya di meja agar lebih leluasa bicara.
"Iya, aku sekarang sedikit lebih paham dari sudut pandangmu, Ndis. Kita cuma beda prioritas dan beda cara kita melihat masalah." Abi menyendok wedang ronde lagi kemudian ikut menaruhnya di samping mangkok milik Gendis. "Sebenarnya bukan mau ngomongin itu sih, Ndis. Ini tentang Papa."
Gendis memasang raut wajah tidak suka ketika Abi menyebutkan kata Papa di akhir kalimat. "Kenapa?"
"Papa pengin ketemu kamu."
Gendis menarik napas panjang. "Jadi Papa sudah sadar kalau aku pergi dari rumah?"
"Papa tahu kamu enggak ada di rumah sejak hari pertama Papa pulang. Ke rumah ya, Ndis, temuin Papa."
"Ketemu Papa cuma bikin aku marah, Mas. Lagian ada atau enggak ada aku, enggak ada pengaruhnya buat Papa."
"Paling enggak, kamu ngomong ke Papa apa tujuanmu keluar dari rumah."
"Kalau itu sudah jelas, enggak perlu ngomong, Papa juga sudah paham."
"Tapi caramu keliru, Ndis." Intonasi bicara Abi mulai meninggi karena Gendis selalu keras kepala ketika diajak bicara.
"Sebelah mana yang keliru? Ini cuma bentuk reaksiku saat sikap Papa seperti itu, Mas. Harusnya Papa ngerti kalau anak-anaknya sudah dewasa, paling enggak berpikir 'oh, kalau aku bersikap seperti ini nanti anakku akan begini', jadi harus lebih menjaga sikap."
"Kenapa harus Papa yang ngerti? Kenapa enggak kamu yang ngerti Papa?"
"Karena Papa sebagai orang tua dan panutan anak-anaknya. Mas Abi masih mau belain Papa?"
"Ndis, mau seperti apa pun orang tuamu, seorang anak masih harus hormat ke Ayah-Ibu mereka."
"Papa enggak pantes buat dihormati, Mas." Gendis mengambil mangkoknya kembali dan menyendok wedang ronde yang mulai dingin dengan tergesa. Abi tahu, Gendis mulai marah dengan pembicaraan ini dan dia butuh sesuatu untuk menutupinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
أدب نسائيGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...