Pukul enam pagi sosok Ganda sudah muncul di rumah sakit lagi. Telah siap dengan seragam kerjanya, safety wearpack berlengan panjang berwarna biru tua disertai strip berwarna abu-abu di bagian lengan, dada, dan pergelangan tangan. Yang dipadukan dengan bawahan celana panjang berwarna senada dan berbahan denim.
Setelah meletakkan kantong plastik yang tadi dibawanya, Ganda mendudukkan diri di salah satu kursi di samping tempat tidur. Ganda memeriksa bagian dalam nakas untuk memastikan kalau barang-barang Gendis masih ada. Ternyata semua masih sama seperti semalam, artinya, Gendis belum pulang dari rumah sakit. Namun, perempuan itu belum terlihat sejak dia datang. Lima menit kemudian Gendis keluar dari toilet kamar dengan handuk terlilit di atas kepala, sudah tidak ada infus di tangannya seperti semalam. Sepertinya perempuan itu sudah menganggap kamar rawat inap sebagai kamar hotel.
"Kok ke sini lagi?" tanya Gendis keheranan begitu melihat Ganda.
"Sengaja. Sekalian anter sarapan," jawab Ganda sambil menggeser tempat duduknya agar Gendis lebih leluasa mengambil barang di dalam nakas. "Infusnya udah dilepas, Dis?" lanjut Ganda.
"Tadi Subuh kebetulan waktu infus habis, aku minta perawat dilepas aja biar bisa pulang."
"Beneran sudah boleh pulang?"
"Sudah boleh ngantor malah."
Ganda memandang Gendis dengan alis menyatu. "Dis, bisa enggak sih, lo enggak segitunya sama kerjaan?"
"Segitunya gimana?"
"Lo lagi sakit, enggak perlu maksain kerja dulu, lah."
"Aku sudah enggak apa-apa kok, tanya perawat sama dokternya aja deh, kalau enggak percaya." Gendis menunjuk ke arah pintu.
"Ah, percuma ngomong sama lo, Dis. Keras kepala," lirih Ganda.
"Lah, siapa yang suruh kamu ke sini kalau cuma buat berdebat?" Intonasi bicara si supervisor quality control jadi meninggi.
Ganda mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat menyerah. "Oke. Sudah enggak perlu diperpanjang. Lo ada baju kerja enggak?"
"Ada. Tadi diantar Mas Abi sebelum dia berangkat kerja."
"Mas Abi?" Dahi Ganda berkerut, "pacar lo?" tanyanya lagi.
"Perlu banget aku jelasin sekarang?" Gendis menoleh, memandang Ganda dengan kening berkerut.
"Ya terserah, gue kan cuma nanya," kata Ganda dengan mengedikkan bahu.
Gendis tidak merespon perkataan Ganda lagi. Dia lebih memilih membuka nakas di depannya lalu mengambil paper bag berukuran besar dan masuk kembali ke toilet.
Lima belas menit kemudian Gendis sudah rapi dengan pakaian kerja. Rambut sebahunya telah kering dan ini yang membuat Ganda takjub, ternyata di mana-mana perempuan tetaplah sama, penampilan itu nomor satu bagi mereka. Siapa yang bisa kepikiran bawa hair dryer ke rumah sakit kalau bukan perempuan di depannya ini? Ya, mungkin saja alat pengering itu selalu berada di dalam mobil Gendis, tapi Ganda tidak mau bertanya.
"Sarapan dulu, Dis."
"Enggak, ah, nanti telat." Gendis sibuk memasukkan barang-barang ke dalam paperbag.
"Ya Tuhan, ini masih jam setengah tujuh pagi. Dari rumah sakit ke tempat kerja juga cuma lima belas menit doang. Duduk dulu, biar gue aja yang rapikan itu." Ganda memegang lengan Gendis, setengah memaksa perempuan itu agar menghentikan aktivitasnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
Chick-LitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...