Pria di depan Gendis kembali menyesap secangkir espresso di tangannya. Rambut sebahu yang selalu tampak rapi dikuncir belakang itu menjadi ciri khas tanpa mengurangi porsi ketampanan wajahnya yang bagi Gendis sejak dulu sama saja, tidak ada yang berubah.
"Semalem bertengkar sama Papa?" tanya pria di hadapan Gendis sambil meletakkan cangkir.
"Papa cerita apa ke Mas Abi?" Gendis balik bertanya.
"Papa cuma ngomong kalau sempat ketemu kamu, tapi dari raut wajah Papa aku bisa lihat ada yang enggak beres," jawab Abi, kakak Gendis.
Gendis menghela napas. "Aku ... kecewa sama Papa," katanya lalu disusul embusan panjang.
"Bukannya dari dulu?" sindir Abi.
"Semalem lebih dari itu, Mas. Aku malu ketemu Papa seperti situasi kemarin, apa lagi di depan temenku. Gimana bisa seorang anak perempuan enggak sengaja ketemu orang tuanya di diskotik? Kelihatan banget kalau keluarga kita kacau."
"Pacarmu?"
"Kenapa Mas Abi nanya itu?"
"Soalnya selama ini kamu enggak pernah mempermasalahkan asumsi orang lain."
"Sejauh ini, dia yang aku percaya."
Abi mengarahkan pemantik ke arah rokok yang dia jepit dengan bibirnya. Setelah menyala dia mengisap dengan kuat dan mengembuskannya ke samping hingga membentuk gerombolan asap yang menyatu bersama udara.
"Seimbangkan porsi percayamu ke orang lain, Ndis. Agar lukanya enggak terlalu lebar kalau dia menyakiti atau mengecewakanmu." Abi mengetukkan ujung rokoknya ke asbak kafe yang berbentuk persegi dengan pahatan di sekelilingnya.
"Aku enggak mau berpikir jelek, Mas."
"Justru berpikir jelek, lah, sebelum hatimu dibanting dan hancur berkeping-keping. Seenggaknya kamu sudah siap." Abi mengisap rokoknya untuk yang kedua kali. "Kamu sudah tahu kan, kalau Mama sakit?" tanya Abi.
Gendis mengangguk. "Tadi malam sebelum ketemu Papa, aku nemui Mama, Mas."
"Terus gimana? Sudah bisa ngobrol sama Mama?"
Kali ini Gendis menggeleng.
"Jangan nyerah, Ndis. Terus temui Mama. Sebenernya Mama enggak mau ketemu kamu lagi karena Mama tahu, kamu selalu nangis di depannya. Mama takut traumamu enggak sembuh, tapi semakin parah gara-gara kalian sering ketemu."
"Mama tahu tentang itu, Mas?" tanya Gendis agak terkejut.
"Tahu, lah. Enggak ada yang bisa mengalahkan ikatan batin ibu dan anak, Ndis."
Gendis mengedarkan pandangan ke luar kafe, jalanan tidak terlalu ramai sore ini. Sebelumnya Ganda menyarankan untuk bertemu dengan Abi di tempatnya, tapi Gendis tidak setuju. Dia tidak ingin melibatkan Ganda di pembicaraannya dengan Abi kali ini.
"Aku jadi makin merasa bersalah ke Mama, Mas. Selama ini aku cuma nyalahin Mama tanpa tahu yang sebenarnya terjadi."
"Cukup, Ndis, kamu enggak pernah salah."
Gendis mengulas senyum simpul sambil memandang Abi yang tengah melempar pandangan ke hiruk pikuk jalanan di kota. Dia tahu betul, Abi adalah satu-satunya orang yang selama ini bisa diandalkan. Tidak ada mama atau papanya, tapi ada Abi. Bagi Gendis, itu sudah cukup.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRACEABILITY (TAMAT ✅)
ChickLitGendis Arum Pramidita―memilih berkarir di bidang industri manufaktur sebagai quality control supervisor dibandingkan bekerja kantoran di gedung-gedung tinggi. Hingga akhirnya memutuskan menjalin hubungan dengan Agung Wicaksana―staf quality control...