6. Bells

8.6K 779 9
                                    

Selamat Membaca. Jgn lupa vote ya. Cuma vote dan komen, gak usah bayar kalo di sini. Jd, kalo kalian lanjut baca dan suka, tolonglah votenya T_T ...

***

Dua hari berlalu tanpa banyak hal yang bisa Irania lakukan. Ia hanya berdiam diri di kamar. Dan sepertinya hanya Harle yang sadar bahwa selama beberapa waktu ini Urania tak makan malam di ruang makan. Padahal, biasanya Urania akan makan di sana walau sang ayah tak pernah menganggapnya. Harle khawatir apa yang ia takutkan terjadi. Saat Urania sudah mulai menyerah untuk mendapatkan hati ayahnya dan mulai membencinya. Harle tak bisa berbuat banyak. Ia juga sudah berkali-kali membujuk Marquess, namun sepertinya hati pria itu sudah mengeras.

Urania tengah duduk di depan meja rias. Yang membantunya bersiap hanyalah Cassy dan Hana. Seperti seorang putri hasil di luar nikah. Ia sama sekali tak diperhatikan oleh Marquess. Bahkan pria itu tak ada keinginan sekecil apapun untuk menemui putrinya sebelum upacara pernikahan.

Sedangkan Irania, dia tak peduli. Tak diperhatikan oleh orang tuanya sudah kerap ia alami. Untuk apa merasa sedih. Toh iya juga tidak berharap di kehidupan kali ini ia akan disayang oleh orang tuanya.

Irania menghela napas. Paras Urania memang seperti dewi. Mata hijau cantiknya nampak kontras dengan surai peraknya. Tak lupa hidung mancung kecil di atas bibir ranum itu. Darimana wajah seperti ini dinobatkan sebagai antagonis. Sungguh penulisnya sedang gila saat menulis cerita itu. Belum lagi, ia harus menjadi Urania.

Ah, haruskah dia mulai hidup dengan nama itu mulai sekarang?

"Nona, Anda sangat cantik sekali." kata Cassy. Ia tak percaya ada manusia secantik Urania. Wajahnya benar-benar anugerah Tuhan.

"Nona, mari... sebentar lagi kita harus berangkat." Hana membantu Urania berjalan keluar kamar. Jangan lupakan kaki Urania yang masih sakit akibat terkilir. Sudah dua hari berlalu, namun masih terasa sakit untuk melangkah.

'Selamat tinggal neraka satu, dan senang bertemu denganmu neraka kedua.' batin Urania tersenyum kecut.

***

Lonceng berbunyi seolah menyambut pasangan baru yang akan mengarungi mahligai rumah tangga mereka. Urania berjalan menuju altar. Di sana, ada seorang pria. Ya ampun, tentu saja itu pasti calon suaminya. 'Jadi dia tidak ke medan perang?' Itu artinya, Zione belum bertemu dengan Ashilla?

Semakin mendekat ke arah Zione, Urania semakin menundukkan wajahnya. Ia takut. Mendadak ia tidak bisa berkutik. Alur novel yang sudah berubah membuatnya selalu meraba-raba sekarang. Apakah Zione, Si Penggila Perang ini juga sudah berubah dari karakter aslinya? Bisakah Urania berharap Zione tak akan jahat padanya?

2 jam kemudian.

Tidak! Lupakan semua angan-angan itu. Ck, sangat menyesal ia berharap seperti sebelum ia menikah dengan Zione. Siapa sangka jika pria kasar dan angkuh di serikat dagang Rombush itu adalah Zione Bavaria Viontine? Bisa gila ia lama-lama.

Kini selang 26 jam setelah mereka menikah, Urania sudah berada di wilayah kekuasaan Archduke Viontine.

Zione juga nampaknya tidak tahu bahwa ia adalah wanita itu. Itu bagus. Namun, bisa dibilang itu sesuatu yang bagus sebenarnya juga salah. Karena saat ini, Zione sedang duduk di depannya. Meneliti, menelisik, menatapnya dengan tajam seperti tengah menatap seorang kriminal. Hingga kini, Urania rasa udara dalam paru-parunya kian menipis. Mengapa pria ini tak berkata sepatah katapun?

"Ma--"

"Nona, apa aku menyuruhmu bicara?"

Urania menelan ludah susah payah. Kenapa jadi dia yang salah? Kalau tidak bicara lantas apa yang akan mereka lakukan? Kontes saling tatap? Apakah begitu? Urania berdecih dalam hati. Kenapa semua pria menyebalkan sekali. Ah, mungkin kecuali Putra Mahkota. Mengingat, ia adalah teman kecil Urania.

The Villainess Just Want to Die PeacefullyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang