19. Blood

6.9K 688 7
                                    

Selamat membaca. Jgn lupa vote dan komen. 

***

Melihat darah semakin banyak yang keluar, Urania mencegah Zione untuk berdiri. Ia menahan lengan lelaki itu agar tetap duduk atau berbaring.

"Ja-jangn banyak bergerak." Tangannya gemetar. Ia belum pernah melihat darah sebanyak ini. Jadi ia tak tahu harus melakukan apa.

"Aku akan cari pertolongan, kau menyingkirlah." Zione menyuruh Urania pergi. Namun gadis itu menggeleng. Ah, iya... saking paniknya ia sampai lupa.

Tanpa memedulikan kata-kata Zione, Urania langsung menutup luka di perut Zione dengan kedua telapak tangannya. "Ck, apa yang kau lakukan? Jangan membuatku kesal Urania." Urania menatap Zione dengan tajam.

"Aku bisa membuatmu sembuh! Sudah diam saja!" Ia tak sadar sudah membentak seorang Archduke. Hah, ia juga tak peduli sih. Yang penting sekarang bagaimana caranya Archduke bisa selamat. Hati nuraninya tak bisa membiarkan pria ini mati begitu saja.

"Urania--"

Zione mengerutkan keningnya ketika melihat seberkas cahaya keluar dari telapak tangan Urania. Makin lama makin terang hingga membuat hati dan pikirannya merasa tenang dan nyaman. Perasaan damai yang baru kali ini ia rasakan. Pria itu tak membuka mulutnya lagi, ia fokus menatap pendar cahaya yang menyelimuti perutnya sekarang.

Di sisi Urania, ia mulai merasakan peluh menetes dari dahinya. Cukup lama hingga luka Zione tertutup dan menghilang baik di dalam maupun di luar. Kini waktu yang ia butuhkan bahkan sudah hampir 30 menit. Ajaib ia masih bisa bertahan karena sebelumnya ia tumbang padahal hanya menggunakan kekuatannya selama beberapa menit saja.

"K-kau kenapa?" tanya Zione saat melihat Urania menggelengkan kepalanya.

Urania tak menjawab. Ia masih fokus dengan pekerjaannya. Sedikit lagi, sedikit lagi luka Zione akan menutup.

Selang 45 menit, luka menganga yang sebelumnya ada di perut Zione kini sudah menghilang. Menyisakan pakaian pria itu yang terlihat berlubang. Urania menyeka keningnya yang basah akibat keringat.

"Sudah sembuh. Sebaiknya kau segera mencari pelakunya." Urania memundurkan tubuhnya perlahan. Ia hendak mencari tempat istirahat. Lelah sekali rasanya, dan tubuhnya sangat lemas.

"Aku sudah tahu siapa pelakunya." ucap Zione.

"Baguslah kalau begitu. Kau harus segera menangkapnya."

Zione menatap gerak-gerik Urania. Terutama ketiga gadis itu hendak berdiri, Urania hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya dan oleng sedikit. Zione refleks mengulurkan tangannya, berniat untuk membantu Urania, namun gadis itu tak menerimanya.

"Aku bisa sendiri. Aku pergi dulu. Untuk masalah tadi, aku sungguh tidak berniat mencoreng nama baik Viontine." Urania menundukkan kepalanya, lalu berjalan menjauhi Zione. Sementara pria itu malah mematung layaknya orang bodoh.

Ia masih berusaha memproses kejadian yang baru saja dia alami. Ia menyentuh perutnya yang semula berdarah-darah itu. Tak ada luka ataupun rasa nyeri di sana. Tak ada bekasnya bahkan. Apa Urania memiliki kekuatan Ilahi?

Zione berdiri, ia mengambil pedang yang masih berlumuran darahnya. Jelas bahwa kejadian ini nyata. Ia menoleh ke segala arah, namun Urania sudah tak ada dimanapun. Zione meremat gagang pedang itu dengan erat. Ia segera membawa pedang itu dan mengumpulkan para ksatria untuk mencari Leticia Reina.

***

"Nyonya, Anda demam." ucap Soria, terkejut mendapati Urania kembali ke kamar dalam keadaan pucat dan lemas.

The Villainess Just Want to Die PeacefullyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang