4. Anger

10K 775 5
                                    

Vote dulu sebelum baca...

Selamat membaca.

***

"Saya sudah menyampaikannya pada Nona, Tuan."

Marquess hanya melihat Harle sekilas, lalu kembali fokus pada dokumennya. Jika anak itu sudah diberi tahu, bukankah seharusnya ia akan masuk ke ruangan ini sembari menangis dan memohon padanya?

"Tapi, apa Tuan tidak ingin setidaknya berusaha menahan Nona?" tanya Harle.

Berharap, Marquess memiliki keinginan untuk mempertahankan putrinya walau sedikit saja.

"Tidak. Lebih baik kalau dia segera meninggalkan tempat ini."

Di sisi lain, Irania tak bisa tidur sejak tadi malam. Pagi ini kepalanya jadi terasa sakit. Ia lelah, tapi kepikiran dengan  perkataan Harle soal pertunangan itu. Ia sudah menduga ayah Urania akan berusaha membuang putrinya ini, tapi ia tak menyangka jika itu terjadi sangat cepat. Ini bahkan sudah melenceng jauh dari novel. Lalu bagaimana ia harus membuat ending baik untuk Urania jika begini?

Ia hanya ingin hidup tenang di pedesaan sambil menanam labu dan tomat. Ia hanya ingin hidup sendirian. Mengapa sekarang tiba-tiba ada pertunangan?

"Nona, air mandinya sudah siap." kata Hana.

"Hana, aku mau ke ruangan ayahku. Dimana ruangannya?"

"No-nona lupa? Haha, itu sesuatu yang normal. Kadang kita melupakan sesuatu." Irania menatap Hana tak berkedip dengan ekspresi datar, "Ah, iya Nona. Nanti akan saya antar." Setelah itu, Irania bangkit, lalu berjalan ke arah kamar mandi. Ia merendam tubuhnya di air hangat. Surga sebelum masuk neraka. Ia akan menikmati ini untuk sejenak.

Hampir 1 jam Irania bersiap-siap untuk menemui ayahnya. Bukan, itu bukan ayahnya. Tapi ayah Urania. Urania yang bangga punya ayah sepertinya, sedangkan ia? Tentu saja tidak. Dasar orang tua kolot tidak punya hati. Irania akan menghabiskan sisa hidupnya yang pendek itu untuk terus mengutuk ayah Urania. Tidak peduli walau sisa hidupnya hanya satu jam ke depan.

Setelah siap, ia langsung meminta Hana untuk mengantarnya ke ruang kerja Marquess. Hana membujuk Irania untuk makan terlebih dahulu, namun gadis keras kepala itu tak mau makan sesuappun jika ia belum berbicara dengan ayahnya. Akhirnya Hana mengalah. Ia tetap meminta Cassy untuk menyiapkan sarapan, sementara dirinya akan mengantar Irania.

"Tuan Marquess, Nona Urania ingin bertemu dengan Anda." ucap seorang penjaga dari depan ruangan Marquess.

"Suruh masuk."

Berselang beberapa detik, wajah Urania terlihat dari balik pintu. Marquess hanya melihatnya sekilas, tak ingin menatap wajah Urania terlalu lama. Itu hanya akan membuatnya sakit saja. Wajah Urania yang mirip dengan mendiang istrinya. Terlebih... bola mata berwarna emerald itu.

"Kenapa kau kemari?" tanya Marquess karena Urania tak kunjung bicara.

"Saya hanya ingin meminta supaya Anda membatalkan pertunangan saya. Saya tidak ingin menikah." ujar Urania dengan tenang. Ia bahkan tak mau repot-repot memberi salam seperti biasanya.

"Hah, kau bicara apa? Pertunanganmu adalah titah Baginda Raja. Kau tidak punya pilihan." kata Marquess tak kalah tenang.

"Oh, benarkah? Saya dengar, ayah di luaran sana bahkan akan mengorbankan nyawanya demi anaknya. Sepertinya itu hanya cerita buatan orang-orang yang haus kasih sayang ya? Anda tidak punya hak mengatur saya, sejak Anda menelantarkan saya." kata Urania lantang. Ia menatap Marquess dengan tatapan tajam.

"TUTUP MULUTMU URANIA! Ha, apa yang aku harapkan dari anak pembawa sial sepertimu?" Marquess  menatap Urania dengan tatapan datar. "Keluar, penolakanmu tidak ada artinya."

The Villainess Just Want to Die PeacefullyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang