47. Fallen

5.5K 501 11
                                    

Selamat membaca. Jgn lupa vote dan komen.

***

"Jika saya berhak bahagia, bukankah itu seharusnya terjadi saat saya masih hidup dulu?" Urania menatap Dewi yang entah namanya siapa ini. Ia bukan orang yang religius memang. Terlebih di dalam dunia novel ini, semuanya terjadi di luar akal sehatnya ketika menjadi Irania.

"Kau masih hidup."

"Anda tahu maksud saya."

"Baiklah. Tapi apa kau sungguh berpikir bahwa kau sudah menyelesaikan cerita dengan baik?"

"Maksudnya? Sa-sayakan sudah berjuang dan melindungi orang-orang. Saya juga menyelamatkannya. Apa itu bukan akhir yang baik?"

"Kau sungguh berpikir bahwa cerita sudah berakhir ketika kau mati?" Mau tak mau Urania menggeleng kecil. "Kau pergi karena keegoisanmu. Kau dulu, dan kau yang sekarang. Kalian sama. Dunia tidak berputar ketika kau lahir, dan tidak pula berhenti berputar ketika kau mati. Artinya, kelahiran dan kematianmu tidak memberikan efek pada dunia ini, karena selama hidup kau memang tidak berbuat apapun untuk dunia ini. Jadi, akhir bahagia itu belum terwujud."

Setelah mengatakan itu, Urania ditinggal seorang diri di tengah hamparan dandelion yang luas itu.

"Lalu aku harus bagaimana?"

***

Zione membuka pintu kamar Urania. Sudah hampir 5 minggu sejak Urania tak sadarkan diri. Urusan kudeta dan penyerangan mendadak kerajaan Terano juga sedang dalam proses peradilan. Sayang sekali Viscount Ardell mati saat peperangan. Tak satupun prajurit mengetahui sosok Viscount Ardell di tengah-tengah para musuh lain, dan mereka juga tak ingat telah membunuh Viscount. Entah kenapa Zione menyimpulkan bahwa Uranialah yang membunuh pengkhianat itu.

Duduk di atas kursi di sisi ranjang Urania, Zione tersenyum kecil. Di atas nakas ada sebuah wadah berisi air hangat, handuk kecil dan kain yang lumayan lebar serta mudah menyerap air. Zione menggulung lengan kemejanya dan menaikkan lengan baju tidur Urania ke atas.

Setiap hari, dua kali sehari, inilah yang Zione lakukan ketika melihat Urania. Membantu membersihkan tubuh Urania dengan lembut dan telaten. Namun, ia tak sampai hati membuka pakaian Urania. Ia hanya membersihkan tangan, kaki, wajah, dan leher gadis itu saja. Sisanya akan dilakukan oleh Cassy, Soria ataupun Lina.

"Aku tidak perlu bertanya kan? Pasti kau yang membunuh Viscount Ardell saat itu." kata Zione. Seorang diri. Karena setiap Zione bertanya, Urania memang tak akan menyahut. Dokter bilang, Zione perlu mengajak Urania bicara walau tak ada respon. Rangsangan apapun, baik suara maupun sentuhan, akan sangat membantu.

"Seharusnya kau pergi saja. Ah... seharusnya aku langsung tahu kalau gadis tidak sopan itu adalah dirimu, apa jika aku menolak keras menikah denganmu, kau tidak akan mengalami ini?" Zione tahu jawaban dari pertanyaannya itu tidak lah pasti. Marquess Shalvione adalah orang yang telah memberikan luka batin dan fisik pada Urania meski tidak secara langsung. Zione melihat betis Urania yang penuh bekas luka, ia meminta Paul untuk memastikan apa yang terjadi semasa Urania remaja. Dan jawaban dari Butler Harle sangat mengejutkan.

Urania disiksa oleh guru-guru privatnya. Setiap hari mereka akan memukul betis Urania dan mengatakan betapa tidak berharganya sosok kecil itu. Bahkan, Harle dengan sangat menyesal mengatakan, Marquess Shalvione tidak mengambil tindakan apapun mengenai hal itu. Mungkin ini memang kesengajaan Sang Marquess memilihkan guru yang jahat itu pada putrinya.

Zione mengambil handuk kecil yang ada di sisi wadah, ia mencelupkannya ke dalam air hangat, lalu memerasnya. Dengan perlahan itu mengusap lengan Urania. Lengan yang terlalu kecil untuk mengayunkan pedang selama berjam-jam.

The Villainess Just Want to Die PeacefullyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang