8. Look

8.2K 763 8
                                    

Selamat membaca, jgn lupa vote!

Haduhhh yg nyasar atau pun yg sengaja baca novel ini, plissseehw vote yah. Apalagi kalo sampe baca trs krn suka. Vote yah, nyenengin orang pahalanya gede loh. Vote dan komen lebih bagus, asal tak komen next next next.

***

Kabar mengenai Urania yang memanggil seorang priest terdengar hingga ke telinga Zione juga. Pria itu hanya menatap ke arah dokumen yang tengah ia pegang. Namun Hugo memberitahunya lebih lanjut. Tentang Priest yang datang dari Ibu Kota, tepatnya dari Kuil Suci Agung Harmionee. Barulah Zione menatap ke arah Hugo. Pria yang sepantaran dengan ayahnya itu terlihat tenang. "Beliau akan tinggal di kuil suci terdekat selama berada di Viontine." ucap Hugo tanpa ditanya.

Zione meletakkan pena bulunya. Pria itu menopang dagunya, untuk apa wanita itu memanggil pendeta? Dan, mengapa harus menginap di sini.

"Hugo, lain kali... kau tidak perlu melaporkannya padaku. Karena aku tidak peduli apapun yang dia lakukan selama itu tidak berdampak buruk bagi Viontine." kata Zione.

Hugo tentu saja merasa terkejut saat mendengarnya. Zione bukanlah seseorang yang dingin seperti ini. Zione telah kehilangan orang tuanya sejak usia muda, namun itu tak menjadikannya sebagai pribadi yang kasar dan dingin. Setidaknya, itulah yang Zione tunjukkan padanya dan rakyat Viontine. Atau, mungkin ia saja yang tak terlalu mengenal sosok Archduke muda ini? Hugo begitu malu.

Terlebih, reaksi dingin yang Zione tunjukkan untuk Urania, benar-benar alami. Pria muda ini bahkan tak pernah menemui Urania lagi sejak hari dimana Urania datang.

Antara Urania dan Zione, mereka seperti ada di dunia yang berbeda. Seperti saat ini, Zione melewatkan makan malam. Sedangkan Urania, gadis itu duduk di balkon kamarnya, menikmati sepotong kue pie apel dengan lahapnya. Ini adalah kue yang ingin ia makan sejak ia masih hidup sebagai Irania.

Nampaknya harus mati dan hidup lagi untuk dapat menikmatinya ya. Urania terkekeh pelan mengingat kematian konyolnya.

Saat itu, pikirannya sudah sangat suntuk. Ini tidak untuk ditiru ketika pikiran penuh dan kalut, menjadi terlalu cepat mengambil keputusan fatal. Ia merasa seperti itu dulu. Dengan beraninya ia masuk ke dalam gedung kantor yang telah tutup. Ia menyelinap ketika penjaga gedung sedang melakukan pengecekan berkala setiap malamnya. Sampai di atas gedung, ia menatap kerlap kerlip lampu yang indah. Tapi untuk apa jika besok saja ia sudah tak bekerja di tempat ini lagi. Ia... bagaikan budak yang selalu dimanfaatkan, namun ujung-ujungnya ia juga tetap dibuang.

Melihat ke bawah, kedua kakinya gemetar. Bodoh, ia takut ketinggian. Dan bodohnya lagi, dengan kaki gemetar itu, ia memanjat pembatas yang tingginya sepinggang.

"Padahal saat itu aku belum siap, tapi sudah keburu jatuh gara-gara kakiku berubah seperti jeli." gumam Urania.

Tak menyangka sekali ia mendapat hukuman seperti ini. Ini bahkan lebih mengerikan lagi. Hidup bersama Zione Bavaria Viontine yang bermuka dua.

Usai diperiksa Eroz tadi sore. Sudah diputuskan bahwa Urania akan menjalani pemurnian setiap dua hari sekali. Ia tak punya pilihan. Maju kena, mundurpun kena. Memang menyebalkan.

"Setidaknya aku harus memenuhi ending baik untuk Urania di akhir novel nanti. Urania tidak boleh mati, terlebih mati karena dibunuh." Bisakah ia tidak terlibat dengan Ashilla dan Karez? Walau ia menikah dengan Zione.

"Pie apelnya jadi terasa hambar ketika mengingat wajah Zione." Urania menatap ke atas. Langit bertabur bintang nampak cantik. Tapi, kenapa jadi malah lebih teringat sosok Zione? Kedua bola mata biru berkilau, dengan rambut hitam kelam yang indah. Sungguh serakah pria itu.

The Villainess Just Want to Die PeacefullyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang