1. Hatred

23.5K 961 27
                                    

Sebelum baca, vote dulu...

Selamat membaca.

⚠️Warning⚠️

Konten sensitif. Suicide. Mohon kebijaksanaan para pembaca, tidak untuk ditiru.

***

"Irania, aku pikir dia hanya anak sanak saudaramu. Bagaimana bisa kau punya putri seperti dia? Bakatnya tidak menonjol seperti adik-adiknya dan dia hanya pegawai rendahan biasa."

"Hah, entahlah. Aku rasa aku dikutuk saat mengandungnya. Suamiku juga terus menyalahkanku karena mengandung anak sepertinya. Aku harap memang aku keguguran saat itu. Tapi kau lihat kan? Anak suram itu tumbuh dewasa."

"Hahaha, kau benar. Aku tidak menyangka saja. Erica dan Marshel begitu menawan. Mereka juga bekerja sebagai dokter dan model. Kau benar-benar beruntung."

"Kau benar, aku beruntung. Tapi jika saja anak itu tidak lahir... aku akan menjadi seorang ibu yang paling beruntung."

Irania mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam rumah. Ia memilih memakai kembali sebelah sepatunya dan berjalan meninggalkan halaman rumahnya. Di tepi jalan, ia menatap pantulan wajahnya melalui kaca spion mobil orang. Wajahnya memang pas pasan. Tak secantik Erica yang seorang model. Sejak dulu, Irania menganggapnya wajar karena ia tak pernah merawat wajahnya. Ia bahkan kerap diejek di kantor karena penampilannya dinilai jadul. Bagaimana lagi? Sejak ia mulai bekerja, ia harus membayar sewa untuk tinggal di rumah orang tuanya itu, dan membeli makanan sendiri. Ia seperti bayangan tak dianggap. Ia juga tak pernah terlihat. Namun sekalinya ia terlihat, semua hal akan terasa salah meski Irania hanya bernapas.

Gadis yang tahun ini berusia 25 tahun itu menghela napas. Tak ada hal baik yang terjadi dalam hidupnya kecuali ia yang mendapat pekerjaan part timesetelah lulus SMA. Orang tuanya tak ingin menghabiskan uang untuknya kuliah. Jadi ia bekerja serabutan dari siang hingga malam. Setelah uangnya cukup, ia memutuskan untuk menempuh pendidikan diploma dan melamar pekerjaan yang lebih layak di sebuah perusahaan setelah lulus.

Pegawai rendahan. Itulah yang kerap ibunya katakan padanya.

"Kau hanya pegawai rendahan, bahkan anak-anak temanku menjadi manajer di usiamu itu. Kau benar-benar memalukan."

Pegawai rendahan yang harus membayar uang sewa karena tidur di bawah atap yang sama dengan mereka. Irania tak lantas menerimanya begitu saja awalnya. Namun ayahnya akan langsung memukulnya seandainya ia membuka mulut. Ia hanya tak ingin kesakitan, makanya ia memilih diam dan membayarnya dengan teratur.

Irania berdiri di depan sebuah toko serba ada. Masuk ke dalamnya dan mengambil sebuah snack pengganjal lapar serta sebotol air mineral.

Ia tak langsung pulang, melainkan ia duduk di depan toko itu dan membuka buku novel yang baru saja ia beli dengan cerobohnya. Untuk apa orang sepertinya membaca buku novel roman yang klise seperti ini? Seharusnya ia simpan uangnya untuk membeli makanan enak saja kan?

Sembari menggigit sedikit demi sedikit snacknya, ia membaca paragraf demi paragraf buku novel itu.

"Bodoh, kenapa sih ada karakter sebodoh ini. Kau itu tidak dianggap, kenapa berusaha sekeras itu heh?!"

Walau marah dan kesal, Irania terus membacanya. Halaman demi halaman, ia baca tanpa terlewat. Sesekali ia terus mengutuk sosok yang dianggap sebagai antagonis di novel itu. Bernama, Urania Meshica Shalvione. Nasib mereka, entah kenapa mirip sekali. Sama-sama anak sulung yang tak dianggap. Urania hanya hidup untuk meyakinkan ayah ayahnya bahwa ia pantas. Tapi tetap saja sang ayah menatapnya tanpa minat. Urania hidup untuk membuat tokoh utama meliriknya. Tapi tetap saja pria itu lebih menyukai seorang putri Count yang dielu-elukan di bergaulan kelas atas. Dianggap sebagai bunga pergaulan kelas atas yang mereka nanti-nantikan.

The Villainess Just Want to Die PeacefullyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang