Perasaan Yuuji tidak enak saat melihat senyum itu. Sangat teduh dan indah, namun seolah menunjukkan penderitaan. Mengapa? Mengapa [Name] tersenyum seperti itu padanya?
"S-sensei?"
"Yuuji, apa kau ingat dengan pertemuan pertama kita?"
Kepala pemuda itu bergerak naik turun. Helaan napas kecil keluar dari mulut [Name]. "Kau sangat kecil saat itu. Hanya setinggi pahaku." Saat [Name] mengucapkan itu, otak Yuuji langsung memutar rekaman memorinya.
"Iya, dan Sensei sangat tinggi seperti pohon." [Name] terkekeh pelan. Mengingat masa itu membuat dadanya terasa sesak. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah.
"Apa kau juga ingat hari saat aku mengunjungimu dan kau sedang dihukum oleh paman?" Kepala Yuuji mengangguk lagi. Itu adalah salah satu kenangan favorit [Name] karena untuk pertama kalinya Yuuji memanggilnya "Sensei."
"Aku pasti ingat. Aku menangis dengan jelek dan Sensei menyeka ingusku. Memalukan sekali kalau diingat." Ucapan Yuuji lagi-lagi mengundang tawa sang guru.
Yuuji yang melihat itu juga ikut tertawa. Namun beberapa saat kemudian wajahnya kembali muram. "Kenapa Sensei bertanya tentang hal itu?"
[Name] tidak menjawab melainkan hanya menggeleng. Tangannya terangkat menyentuh dadanya. Dibalik kerah bajunya ia mengeluarkan sesuatu. Sebuah kalung dengan liontin kelereng. Benda yang tidak pernah [Name] lepaskan sejak melingkari lehernya.
Nampak tali kalung itu sudah sangat usang dan kelerengnya pun sudah retak di beberapa bagian. [Name] kembali tersenyum menatap Yuuji. "Bagaimana dengan ini? Kau memberikannya padaku saat hari ibu. Kau ingat, kan?"
Mata Yuuji membulat menatap benda itu. Tak pernah ia sangka bahwa gurunya akan terus memakai benda jelek yang ia buat saat masih kecil itu. "Mengapa? Itu kan jelek sekali. Harusnya dibuang saja."
[Name] mendengus pelan. Ia menatap kalung itu sembari tersenyum. "Bagaimana bisa aku membuangnya? Yuuji kan membuat ini sambil memikirkanku. Kau ingat kan kata-kata yang kau ucapkan saat itu?"
Tentu saja Yuuji mengingatnya. Dia menyerahkan kalung itu untuk perayaan hari ibu. Karena baginya [Name] adalah sosok yang seperti itu.
"Yuuji..." panggil [Name] dengan suara yang begitu lembut. Saking lembutnya langsung menyentuh perasaan Yuuji. Pemuda itu sampai tidak bisa menahan air matanya. Meskipun ia terus mengusapnya, itu terus mengalir tanpa henti.
"Yuuji?" [Name] memanggilnya sekali lagi. Yuuji yang masih menangis menjawabnya dengan suara yang parau.
"Berapa usiamu?"
"Li-lima belas tahun."
"Begitu ya, kau sudah besar, ya." [Name] mengepalkan tangannya. Tanpa sadar air matanya juga sudah mengalir membasahi pipinya. Ia melebarkan tangannya dan menarik Yuuji ke dalam pelukannya. Wanita itu lalu mulai terisak.
"Yuuji sudah besar. Sejak kapan kau tumbuh sebesar ini?" ucapnya disela-sela tangisnya. Ia meremat pelan pakaian Yuuji.
"Sejak kapan anakku tumbuh sebesar ini? Dulu kau sering merengek padaku untuk dibacakan dongeng sebelum tidur. Tapi sekarang kau sudah sebesar ini? Anakku, kau tumbuh dengan baik rupanya."
Kata-kata [Name] membuat dada Yuuji terasa makin sesak. Tangisan pemuda itu menjadi semakin keras. Tangannya memeluk tubuh [Name] makin erat.
"Kenapa Sensei mengatakan itu? Aku belum sebesar itu. Sensei masih bisa membacakan dongeng untukku. Aku masih anak-anak yang membutuhkan [Name]-Sensei. Tidak, aku ... aku masih membutuhkan ibuku. Tolong jaga aku seperti biasanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Reclaiming My Student || Gojo Satoru
Fanfiction[COMPLETE] Aku bersumpah akan mengutuk Kepala Sekolah itu. Setelah mengirimku dinas ke tempat antah berantah, berani sekali ia menyetujui kepindahan muridku ke sekolah lain. Apalagi di catatan tidak tertera bahwa dia telah melakukan pelanggaran. "M...