"Gojo-san, apakah kau mengenal seorang gadis dengan rambut panjang dan bermata emas? Dia selalu memandangimu setiap sore."
Sejak mendengar ucapan gadis yang menjadi kekasih Yuuta itu, Gojo selalu merasa gelisah. Pasalnya ia tak bisa melihat apapun. Hanya gadis itu yang bisa melihatnya karena ia adalah setengah ayakashi.
Sampai suatu hari, saat gadis itu berpamitan untuk melanjutkan pendidikannya, Gojo dan semua muridnya mengantar gadis itu ke bandara. Karena mereka cukup dekat, gadis itu memberikan sesuatu yang berharga untuk Gojo sebagai ucapan perpisahan. Sebuah mutiara khusus milik kitsune. Gadis itu berkata ia telah membagi kemampuan panca indranya ke dalam mutiara itu.
Sepanjang perjalanan pulang, Gojo terus menggenggam mutiara itu. Saat ia tiba di SMK Jujutsu, tanpa basa-basi ia berlari menuju lapangan sekolah. Tempat dirinya biasa menikmati matahari terbenam.
Ia melangkah perlahan, mendekat, dan matanya membulat saat melihat rambut panjang itu bergelombang diterpa angin. Langkah Gojo kian mendekat. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis. Saat sosok itu membalikkan tubuhnya, Gojo akhirnya bisa melihatnya dengan jelas.
Wajah yang ia rindukan selama sepuluh tahun ini.
[Name]
Jantungnya berdebar seolah organ itu baru saja mendapatkan kehidupannya kembali. Saat matanya dan gadis itu saling bertatapan, air mata perlahan mengalir dari sudut mata pria itu.
[Name] yang ada di hadapannya menatap bingung. Ia melangkah mendekat hingga tiba di hadapan Gojo. "Kenapa dia tiba-tiba menangis? Apa dia bisa melihatku?" gumamnya yang masih terdengar oleh telinga Gojo. "Tapi untuk apa juga dia menangis saat melihatku? Dia kan tidak ingat apa-apa," ucap [Name].
Mata emasnya memandangi wajah Gojo yang rupawan. Biasanya ia tidak berani muncul sedekat ini di hadapan Gojo karena pria itu bisa saja melihatnya. Tetapi air mata yang mengalir di pipi pria itu membuatnya tidak bisa menahan diri. Ia bertanya-tanya apa yang membuat Gojo begitu sedih sampai menampilkan raut wajah yang begitu sendu seperti ini?
[Name] kemudian mengalihkan pandangannya pada semburat jingga di langit sana. Sebentar lagi matahari akan terbenam dan ia harus segera pergi. Sekali lagi ia memandang wajah Gojo kemudian berjalan melalui pria itu. Baru beberapa langkah saat ia tiba-tiba mendengar pria itu berbicara.
"Kau akan pergi begitu saja, [Name]?" Mata [Name] membulat mendengarnya. Ia menoleh dan tersentak saat tubuh menjulang milik Gojo sudah berada di hadapannya. Pria itu memandang begitu dalam dengan air mata yang terus mengalir.
"Satoru?" Mendengar [Name] menyebut namanya dengan lembut, pertahanan Gojo runtuh seketika. Ia menarik tubuh [Name] memeluknya dengan erat sembari terisak.
[Name] yang kebingungan pun mulai merasakan panas di matanya. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tetapi ia membalas pelukan Gojo sama eratnya. "Aku merindukanmu, [Name]. Kenapa kau tidak pernah menampakkan diri di hadapanku? Aku sudah lelah menunggumu."
[Name] mendengus lalu perlahan melonggarkan pelukannya agar bisa menatap Gojo. Tangannya terangkat menyentuh pipi pria itu. "Satoru, kau tidak lupa?"
"Tidak, [Name]. Bagaimana bisa aku melupakanmu? Tahukah kau betapa tersiksanya aku selama ini." Gojo menggenggam tangan yang ada di pipinya lalu memejamkan mata. "Aku merindukanmu setiap hari."
[Name] tertegun. Bagaimana bisa? Seingatnya ritual pemutaran waktu berhasil dengan baik. Seharusnya Gojo melupakan segalanya supaya pria itu bisa menjalani hidup dengan bahagia.
"Kau tidak bisa membuatku melupakanmu, [Name]. Bagaimana bisa aku hidup tanpa mengingatmu? Kau wanita jahat," ucap Gojo sembari terisak. Kepalanya bergerak pelan, membuat tangan [Name] di pipinya mengelusnya. "Bagaimana bisa kau menyingkirkan dirimu dari hidupku? Siapa yang memberimu hak melakukan itu?" Mata biru Gojo terbuka. Menatap begitu dalam pada iris emas di hadapannya. "Bahkan jika harus menderita seumur hidup, aku tidak akan pernah melupakanmu, [Name]."
[Name] tertegun. Dadanya terasa sesak dan air mata mulai jatuh ke pipinya. Ia terisak pelan, membayangkan Gojo selama ini hidup tersiksa dengan kenangan mereka. Rasanya pasti sangat menyakitkan, karena [Name] juga merasakannya.
Selama ini ia tidak berani menyapa Gojo karena berpikir pria itu sudah melupakannya. Ia hanya memandangi pria itu dari jauh. Tak berani mendekat, takut perasaannya akan meluap saat berhadapan dengan pria itu.
Benar saja, sekarang [Name] menangis seperti anak kecil di hadapan pria itu. "Satoru," suaranya bergetar, menandakan ia juga merasakan sakit yang sama seperti yang Gojo rasakan. Pria itu mengangkat tangannya, menyeka air mata di pipi [Name].
"Kenapa kau menangis? Seharusnya akulah yang menangis. Dasar wanita jahat," ucap Gojo dengan nada sarkas. Namun, tatapannya penuh kasih, tak benar-benar mengandung teguran. Perlahan, ia menarik tubuh [Name] ke dalam pelukannya, seolah tak ingin melepaskannya lagi. "Aku mencintaimu, [Name]," bisiknya dengan suara parau.
Mendengar kata-kata itu, [Name] merasakan hatinya bergetar, perasaan hangat mengisi dirinya. Ia membalas pelukan Gojo dengan erat, seolah tak ingin ada jarak sedikit pun di antara mereka. "Aku juga mencintaimu, Satoru. Sangat," balasnya pelan.
Gojo tersenyum tipis, mata birunya berkilauan dengan kelembutan yang jarang terlihat. Perlahan, ia melonggarkan pelukan mereka, menatap wajah [Name] yang berseri, meskipun masih basah oleh air mata. Dengan lembut, ia mengusap sisa air mata yang mengalir di pipinya, seolah ingin menghapus semua jejak kesedihan yang pernah ada. Tanpa berkata apa-apa, Gojo mendekatkan wajahnya, sampai bibir mereka bertemu dalam ciuman yang hangat.
[Name] memejamkan mata, tenggelam dalam kehangatan yang telah lama dirindukannya. Ciuman itu terasa manis dan lembut, seolah menjadi janji baru bagi mereka——sebuah awal dari kebahagiaan.
Ketika ciuman itu berakhir, Gojo menatap wajah [Name] dengan pandangan jahil yang membuat senyumnya semakin lebar. "Sensei, matamu bengkak," ejeknya dengan tawa kecil yang membuat suasana lebih ringan.
[Name] mendengus, lalu mencubit pipi pria itu dengan gemas. "Lihat dirimu sendiri, Tuan Putri," balasnya, senyumnya melebar mengikuti senyum Gojo.
Mereka tertawa bersama, melepas semua ketegangan dan beban yang telah lama menghantui hidup mereka. Dalam momen itu, tak ada lagi rasa sakit atau rindu yang menyesakkan——hanya kebahagiaan murni yang akhirnya mereka rasakan.
.
.
.
.
.
.
Haiii
Ada yang rindu?👀
Harusnya ini di up setelah serangkaian trilogy ff ini berakhir
Tetapi sepertinya aku tidak sanggup menunggu selama ini
Silahkan nikmati another epilog ini, anggap aja healing setelah ending yang ampas itu :)
Sekian dari aku, aku mau ngebacok si Gege dulu
Terima kasih telah membaca ><
KAMU SEDANG MEMBACA
Reclaiming My Student || Gojo Satoru
Fiksi Penggemar[COMPLETE] Aku bersumpah akan mengutuk Kepala Sekolah itu. Setelah mengirimku dinas ke tempat antah berantah, berani sekali ia menyetujui kepindahan muridku ke sekolah lain. Apalagi di catatan tidak tertera bahwa dia telah melakukan pelanggaran. "M...