Suasana tegang sudah biasa dirasakan di ruang rapat. Tetapi hari ini suasana ruangan itu benar-benar mengerikan dan mencekam. Apalagi [Name] secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya di sana.
Anggota-anggota yayasan yang duduk berderet itu menelan ludah. Sebisa mungkin mereka lakukan tanpa menimbulkan suara. Takut kalau-kalau [Name] akan memelototi mereka.
Sudah lewat lima belas menit, namun tak satu pun yang berniat memulai rapat. Ketua yayasan melirik ke arah Kepala Sekolah. Si Kepala Sekolah malah melirik [Name] yang membalasnya dengan tatapan tajam. Pria tua itupun buru-buru mengalihkan pandangan. Tak mau jika harus berurusan dengan [Name]. Dalam hati ia menyesal menerima tawaran Menteri Pendidikan yang membawa wanita itu ke sekolahnya.
Lima menit terlewat lagi dengan keheningan. [Name] melirik arloji di tangannya. Baru saja akan membuka suara, tiba-tiba saja seseorang berbicara dengan cukup lantang.
"Myoui-Sensei!"
[Name] mengangkat satu alisnya sembari menyandarkan punggung di kursi. "Ada apa? Kau ada masalah denganku?" Nada suara gadis terdengar sangat mengintimidasi. Nyali orang yang menyebut namanya tadi menciut seketika.
[Name] jadi geram sendiri melihatnya. "Kau tidak akan bicara? Setelah menyerukan namaku seperti itu kau akan diam saja?"
Orang yang tadinya akan duduk itu pun buru-buru menegakkan tubuhnya kembali. Ia berdeham pelan sambil melirik ke segala arah. Tersirat jelas dari mimik wajahnya betapa ia ketakutan sekarang. Ia merutuki diri sendiri karena mengusik [Name] tadi.
"Be-begini Myoui-Sensei, kami hanya ingin mengapresiasi pekerjaan yang telah Myoui-Sensei lakukan. Ekspedisi kemarin hasilnya sangat memuaskan. Dinas Pendidikan mengatakan bahwa angka buta huruf di desa itu menurun drastis."
"Aku tahu. Aku memang hebat," timpalnya malas. Jika ada nominasi manusia paling percaya diri di dunia, mungkin [Name] yang akan memenangkannya. Tingkat kepercayaan diri gadis itu terlampau tinggi.
Setelah itu, tak ada lagi yang berani berbicara. Merasa tidak ada lagi yang perlu dibahas, [Name] pun bangkit dari kursinya dan beranjak pergi tanpa menghiraukan pandangan orang-orang padanya.
Begitu pintu tertutup, seisi ruangan bersama-sama menghembuskan napas lega. Mereka begitu bersyukur wanita itu tidak memborbardir mereka dengan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan.
* * *
[Name] menatap papan nama kelas di atas sana. Melihat tulisannya saja ia sudah malas, apalagi harus masuk ke dalam dan mengajar. Bukannya tidak suka mengajari murid-muridnya, ia hanya masih merasa lelah dan sangat ingin bermalas-malasan di rumah sekarang. Namun, apa daya? Atasannya sudah terlanjur memberi perintah. Daripada harus mendapat tugas berat lagi, lebih baik ia menurut saja.
Ia melangkahkan kaki ke dalam ruang kelas. Semua murid langsung memperbaiki posisi duduk mereka. [Name] meletakkan buku yang ia pegang sejak tadi ke atas meja. Ia kemudian meraih buku absen dan mulai menyebutkan nama muridnya satu persatu.
Dahi gadis itu mengkerut saat tak mendengar suara dari salah satu nama yang ia sebutkan. "Itadori Yuuji, apa tidak ada?" Seisi kelas serentak menggeleng. [Name] bingung melihatnya. "Ketua kelas, apa tidak ada keterangan mengapa ia tidak hadir hari ini?" Si ketua kelas menggeleng pelan.
"Itadori sudah pindah sejak dua bulan yang lalu, Sensei."
Ucapan itu membuat [Name] tersentak. Ia menyimpan buku absen di meja kemudian berjalan mendekati si ketua kelas. "Pindah? Pindah kemana?" Murid di depannya itu menggidikkan bahu.
"Tidak tahu, Sensei. Dia hanya pindah begitu saja setelah kakeknya meninggal." Mendengar hal itu tak kalah mengejutkannya bagi [Name].
"Apa? Tuan Itadori meninggal? Kenapa tidak ada yang memberitahuku soal ini?" [Name] berdecak pelan. Dengan raut kesal ia berjalan meninggalkan ruang kelas.
Beberapa saat kemudian ia kembali lagi hanya untuk memberi tugas pada murid-muridnya. "Kerjakan tugas di halaman 118, kumpulkan sebelum jam istirahat di mejaku." Setelah mengatakan itu ia kembali pada tujuan awalnya. Ke ruang Kepala Sekolah.
Belum sampai langkah kakinya, orang yang ia cari tiba-tiba muncul di persimpangan koridor. Tanpa basa-basi lagi [Name] menghampirinya seraya berseru.
"Pak Kepala Sekolah!"
Yang dipanggil terperanjat hingga hampir menabrak tong sampah. Ia kemudian menoleh pada [Name]. Melihat wajah kesal gadis itu membuat si Kepala Sekolah merinding. Ia pun buru-buru berjalan pergi, namun sialnya [Name] berhasil menghadangnya.
"M-Myoui-Sensei? Ada apa? Kenapa kau terlihat sangat tegang? Oh apa kau merasa lelah? Kalau begitu pulang saja, ada banyak guru yang bisa menggantikanmu. Aku permisi dulu." Si Kepala Sekolah baru saja akan beranjak, tetapi [Name] langsung menahan kerah bajunya.
"Mau kemana kau? Ikut aku sekarang." Kepala Sekolah menghela napas pasrah. Saat ini ia sudah tahu bahwa dirinya akan menjadi sasaran kemarahan dari guru yang satu ini. Semoga saja ia masih bisa pulang hidup-hidup.
* * *
Kepala Sekolah menelan ludah. Tatapan [Name] benar-benar menusuk hingga membuatnya tak berani mengangkat kepala.
"Jadi, bisa jelaskan padaku mengapa kau memindahkan muridku ke sekolah lain?"
Celaka. Pria tua itu lupa tentang masalah itu. Ia lupa bahwa murid yang ia setujui kepindahannya itu adalah murid kesayangan [Name].
"A-ah itu, mu-murid itu, s-sebenarnya..." Kepala Sekolah berucap dengan terbata-bata lantaran terlalu gugup.
"Kau ini bicara apa? Katakan yang jelas!"
Si Kepala Sekolah makin gemetar mendengar nada suara [Name] yang meninggi. Habis sudah, dia pasti akan kena omel habis-habisan. Ia merutuki diri sendiri dalam hati karena terbujuk rayuan seorang pria agar memindahkan si murid itu. Berkat hal itu, sekarang ia harus menghadapi singa betina yang sedang marah.
"A-aku akan jelaskan semuanya. Sekarang kita pindah dulu ke ruanganku."
[Name] menarik napas dalam-dalam. Berusaha mengatur emosinya agar tidak menimbulkan keributan. Ia pun mengikuti si Kepala Sekolah ke ruangannya.
Tiba di sana, pria tua itu pun akhirnya menceritakan semuanya pada [Name]. Walau ketakutan, ia tetap berbicara dengan jujur. Berharap gadis itu akan melepaskannya. Namun sepertinya itu mustahil karena raut wajah [Name] terlihat sangat suram setelah ia selesai berbicara.
Kepala Sekolah duduk di kursi sambil melipat tangan. Bersiap mendengarkan segala macam caci maki dari mulut wanita muda di hadapannya.
"Dimana?" Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut [Name].
"Dimana apanya?" Kepala Sekolah bertanya kembali untuk memastikan pendengarannya.
"Dimana sekolah tujuannya?" Kepala Sekolah terdiam mendengar pertanyaan itu. Sebenarnya ia tidak tahu menahu soal sekolah yang dituju si murid. Yang ia tahu hanya nama sekolah dan kotanya. Perihal letak pastinya, ia tidak diberi tahu oleh orang yang membawa si murid.
"Itu ... sekolahnya berada di Tokyo, kalau tidak salah namanya SMK Jujutsu."
"SMK Jujutsu? Aku tidak pernah dengar tentang sekolah itu saat dinas di ibukota."
"Katanya sekolah itu memang jarang diketahui, tapi sekolah itu terdaftar di situs Kementrian Pendidikan."
[Name] mengangguk pelan lalu berucap, "Terima kasih atas informasinya. Aku pergi dulu." Gadis itu beranjak meninggalkan ruangan. Setelah ia keluar, Kepala Sekolah langsung menghembuskan napas lega. Hampir saja ia jadi santapan hewan buas tadi.
[Name] sendiri kembali pada kegiatan mengajarnya. Setelah jam sekolah berakhir barulah gadis itu mencari tahu perihal si murid kesayangannya.
Siapapun kau yang membawa Yuuji pergi, aku pasti akan menemukanmu dan...,
",... merebut kembali muridku."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Waduh hati-hati ya buat orang yang udah bawa Yuji kabur
Mbak nem udah keluarin khodam reognya nih wkwk
Gimana pendapat para reader tentang chapter ini?
Apakah kalian suka?
Semoga suka sih ya wkwk
Nantikan kelanjutan ceritanya dan..
Terima kasih udah baca ><
KAMU SEDANG MEMBACA
Reclaiming My Student || Gojo Satoru
Fanfiction[COMPLETE] Aku bersumpah akan mengutuk Kepala Sekolah itu. Setelah mengirimku dinas ke tempat antah berantah, berani sekali ia menyetujui kepindahan muridku ke sekolah lain. Apalagi di catatan tidak tertera bahwa dia telah melakukan pelanggaran. "M...