🪄🪄🪄
Pagi jam sembilan, dua orang yang sebelumnya tertidur dalam gua kini mulai berjalan kembali setelah mengisi perut dengan makanan seadanya. Salju masih belum mencair sepenuhnya setelah semalaman turun menutup permukaan tanah. Butir-butir putih seperti kapas itu menutup beberapa cabang pohon, mulai menetes perlahan setelah mentari pagi memunculkan diri. Angin masih terasa dingin dan menusuk sewaktu geletar mantel mereka berkibar tertiup hembusannya.
Keduanya tiba di satu tempat yang ditumbuhi bebatuan tinggi, membentuk bangunan yang terbengkalai. Meski dingin dan dipenuhi salju, namun beberapa rumput liar dan pepohonan tinggi tumbuh di beberapa tempat.
"Apakah ini reruntuhan sebuah istana?" gumam Jiyang sambil menatap satu lorong seperti pintu masuk ruangan.
Tanpa menjawab, Haoxuan melangkah melewati lorong yang akhirnya diikuti oleh Jiyang sampai tiba di satu tempat yang terlindungi oleh pepohonan rimbun. Ada beberapa tiang batu yang mengapit satu kolam dan mengeluarkan uap dingin. Batu-batu itu berujung tajam dan dipenuhi tulisan pada permukaannya. Dedaunan kering kecokelatan berserakan memenuhi permukaan tanah, berbaur dengan salju yang mulai menipis.
"Tempat apa ini?" Jiyang memutar pandangan.
"Sepertinya ini sisi gunung yang disebutkan tetua Bai. Tidak jauh dari tempat ini Rumput Kebangkitan itu tumbuh," sahut Haoxuan sambil ikut menyapukan mata tajamnya ke seluruh tempat. Dia teringat ucapan tetua Bai, rumput itu akan terlihat bersinar di kala matahari tepat di atas kepala dan pertengahan hari tinggal beberapa jam lagi.
Haoxuan melangkah lambat menyusuri tempat, dan mengamati batu tinggi yang berwarna keputihan. Keningnya berkerut sekilas kala menangkap beberapa tulisan yang tertera pada batu. Dia mendekati salah satu batu. Jaring laba-laba yang ditempeli daun kering menutup sebagian permukaan. Tangannya menyibak dan menyingkirkan lapisan jaring sampai melihat tulisan dengan jelas. Dia mencoba membaca huruf-huruf yang membentuk kalimat. Tulisan itu berupa huruf kanji kuno yang ia sendiri bahkan tidak mengerti namun rasanya pernah melihat tulisan seperti itu.
Sedikit familiar, batinnya sambil menyentuhkan jemari menyusuri beberapa huruf.
Sementara Haoxuan masih mencoba memahami tulisan, Jiyang pun sama-sama memperhatikan satu batu. Dia bahkan tidak tahu menahu tentang tempat itu apalagi tentang tulisan. Dia berpikir bahwa itu mungkin peninggalan zaman dulu yang pernah menjadikan tempat itu sebagai tempat tinggal, sedikit kagum dengan orang-orang sebelumnya yang pernah tinggal di tengah cuaca ekstrim seperti itu. Batu-batu itu pun bukti dari keahlian orang dulu yang memahat dengan alat sekedarnya dan menghasilkan beberapa tulisan dan gambar tertentu.
Jiyang melihat satu gambar yang menyerupai burung, seakan-akan sedang terbang bebas di angkasa dengan sayapnya yang terkembang. Hatinya bertanya-tanya tentang jenis burung yang dipahat dengan indah. Dengan senyum tersungging di bibir, Jiyang meraba keseluruhan batu sampai merasakan satu tombol tepat di bawah gambar burung.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐚𝐯𝐞𝐧 : 𝓣𝓱𝓮 𝓓𝓪𝔃𝔃𝓵𝓲𝓷𝓰 𝓕𝓪𝓲𝓻𝔂 [𝐄𝐧𝐝]
Viễn tưởngSaat kutukan telah terlontar dan langit menerima ucapan, sang guru tidak berdaya mematahkannya kembali walaupun ia menyesal. Itulah yang terjadi pada Wang Yibo, pewaris terakhir dari klan Raven. Bertahun-tahun mencari sosok manusia berdarah campura...