Saat kutukan telah terlontar dan langit menerima ucapan, sang guru tidak berdaya mematahkannya kembali walaupun ia menyesal. Itulah yang terjadi pada Wang Yibo, pewaris terakhir dari klan Raven.
Bertahun-tahun mencari sosok manusia berdarah campura...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Awan putih cemerlang mengambang di bawah langit biru, berarak seiring hembusan angin kencang yang menggoyangkan pucuk pepohonan. Sore itu cukup cerah dan matahari masih menampakkan sinarnya, namun udara di sekitar kaki gunung Tianjie sangat dingin. Jiyang tidak pernah menduga kalau ternyata gunung yang mereka tuju diselubungi salju dengan udara sedingin es.
Entah sudah hari keberapa dirinya dan Haoxuan berjalan hingga mencapai kaki gunung setelah melewati desa dan hutan. Dia merasakan perubahan cuaca yang kian ekstrim ditambah saat ini musim dingin mulai sering menurunkan saljunya. Dia sempat kelelahan dan beristirahat selama seharian tanpa melakukan perjalanan yang akhirnya ikut menghambat langkah Haoxuan. Sekarang pun kembali kerepotan karena dinginnya cuaca serta kaki yang mulai terasa lemas. Jiyang berhenti berjalan, bersandar pada pohon kering yang ditempeli salju pada setiap cabangnya.
"Tidak lama lagi akan mencapai puncak. Bolehkah aku beristirahat sejenak?" ia bertanya di antara napas lelah. Uap tebal berhembus dari sela bibir.
Haoxuan menatap berkeliling, mengedarkan pandangan mencari tempat yang lebih baik untuk istirahat. Menggunakan pandangan jarak jauh, dia melihat sebuah gua yang tertutup oleh semak belukar dan pepohonan tinggi.
"Kita ke arah sana."
Dia menggerakkan dagu dan menatap pada Jiyang yang kelelahan. Uap putih yang sama menyertai gerak bibirnya.
Ikut menoleh ke arah yang dimaksud oleh Haoxuan, Jiyang hanya bisa menyipitkan mata karena tidak melihat apa pun. Tetapi dia tahu ada sesuatu di sana menyadari siapa sosok yang berdiri di hadapannya sekarang.
"Baiklah," sahutnya lemas. Dia memegangi kedua paha sejenak sebelum meluruskan punggung. "Apa kau yakin ada tempat untuk beristirahat?" lanjutnya sambil mulai melangkah.
"Tidak terlalu layak tapi setidaknya bisa melindungi dari cuaca ekstrim," sahut Haoxuan. Dia hendak melangkahkan kaki sewaktu melihat Jiyang sedikit limbung. Dia tergesa menahan pundak sambil melirik ke arah kaki.
"Kenapa kakimu?"
"Entahlah, mungkin sedikit kram karena dingin," Jiyang setengah meringis.
"Kau masih mampu berjalan?" tanya Haoxuan.
"Mungkin masih. Kita teruskan."
Haoxuan bergumam pelan sambil tetap memegangi bahu Jiyang dan kembali melangkah. Namun setelah beberapa langkah ke depan, dia tak tega melihat pemuda itu berjalan terpincang-pincang dengan wajah pucat pasi. Dia pun menghentikan langkah dan melepas pegangan pada bahu Jiyang.
"Ada apa?"
Wajah pucat Jiyang berpaling ke arah Haoxuan. Keningnya berkerut bingung melihat Haoxuan menurunkan pedang yang terikat di punggung. Dia makin terheran-heran karena pedang yang terlindungi oleh sarung berukir itu tersodor padanya.