3 | Kacamata

337 222 36
                                    

"SUMPRIT, ya, gue pengen makan Pak Gun hidup-hidup rasanya, tau nggak? Padahal coretan tipe-x dikiiit doang, loh...." Dua jari Zara membentuk cubitan kecil. "...udah disuruh ganti jurnal lagi. Mana ngeluarin biaya uang jajan gue dua hari, belum iuran yang tugas kelompok," ujar gadis bule itu berapi-api, sedari tadi misuh-misuh sambil menggebrak-gebrak meja kantin sesekali dengan kepalan tangan.

Rea menepuk bahu Zara, menenangkan. "Sabar, sabar."

Mata Zara melirik sahabatnya di sampingnya kesal. "Ada batasannya, Re."

"Ya elah... lo, kan, orkay, Zar," timpal Banu sembari menulis nama-nama kelompok mereka di buku.

Pagi ini mereka sudah akan berdiskusi tugas bahasa Indonesia tentang unsur intrinsik. Bahasa Indonesia selalu diberi kesempatan meminjam buku dari perpustakaan. Kelas dibagi menjadi beberapa kelompok bebas, perkelompok bertugas menulis unsur intrinsik novel.

"Orkay gini-gini, ya, jajan harus dibatesin." Kepalan tangan Zara menggebrak meja lagi. Membuat keempat gelas mereka ikut melompat sedikit bersama airnya yang terombang-ambing.

Audrey yang baru saja meminum jus sedikit keciprat air itu menatap Zara dengan raut sangsi.

Banu melirik novel tebal di sebelah lengan Audrey. "Novelnya yakin yang itu? Tebel banget, buset. Gue baca novel sedeng di rumah aja sampai sebulan baru kelar," ucapnya mengalihkan topik.

Audrey menanggapi, "Ya elah, Nu..., ini, kan, pernah Rea baca juga. Terus juga menarik kelihatannya. Banyak motivasinya lagi. Ya, nggak, Re?" Gadis berkacamata itu melirik teman baru sekelompoknya, meminta persetujuan.

Yang ditatap mengangguk mengiyakan. "Serahkan semua kepada Detektif Audrey," tambah Rea sembari merangkul bahu Audrey bersahabat.

Audrey hanya mengangguk-angguk polos sambil menyeruput jusnya lagi kelewat santai. Sepertinya gadis itu juga yang paling banyak kerjanya, banyak pasrahnya, dan banyak dimintai tolongnya. Bisa di bilang, Audrey dan Banu termasuk murid tiga besar di kelas.

"Iya, dah, si paling detektif. Yakin, Drey, cita-cita lo jadi detektif?"

Audrey mengangguk mengiyakan lagi. "Ntar ini Drey yang print, ya?" Dia tiba-tiba meminta persetujuan teman-temannya, karena tinggal dua anak yang belum mengerjakan apa-apa.

Kelima jemari Zara sontak terangkat. "Gue yang jilid." Lalu kepalanya menoleh ke arah gadis yang tengah menyeruput vanila latte-nya, karena hanya sisa gadis itu yang belum usul tugas apa-apa. "Elo, Re?"

Ketiga anak itu memusatkan perhatian ke arah Rea.

"Gue bantu doa," jawab Rea santai.

"Sinting!"

Ketiganya tertawa waktu Zara menepuk pelan jidat Rea. Makanan mereka satu persatu datang, mereka lalu menyantapnya sesuai selera masing-masing. Banu dan Audrey makan sembari sibuk mengurusi tugas kelompok, sementara yang lain merasa puas ada mereka.

"Drey, mana yang namanya Nata? Udah dua Minggu, loh, gue nggak pernah liat. Temen sebangku gue juga, kan? Mana? Kok nggak pernah hadir, sih? Nggak asik tahu, duduk sendirian muluuu." Rea bertanya sembari sesekali menyapu pandang ke tengah kerumunan kantin.

Senyum Zara terangkat. "Rea, Rea... Nata mulu, ih, yang ditanyain. Awas, ntar naksir berat, loh," ledek Zara diikuti tawa yang lainnya.

"Iya, ih, nanyain Nata mulu perasaan," timpal Banu.

Rea mengerucutkan bibirnya. "Bukan, ih. Habisnya Zara sama Karin suka ngomongin, ya, gue penasaran, lah, sampai sekarang nggak ketemu-ketemu sama yang namanya Nata-Nata itu."

NATAREL✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang