Prolog

678 200 66
                                    

Bismillahirrahmanirrahim...
Sebenarnya, saya pernah mempublish cerita ini. Tapi di-unpublish, dan digantikan ke innovel/dreame. Tapi (lagi) karena belum kontrak eks, jadi saya publish ulang di sini. Semoga suka, ya.

Suatu saat, entah saya berubah pikiran mau dihapus di wattpad apa nggak, tergantung pikiran, hehe. Minta dukungannya yaaa, lagi bingung nih mau lanjut publish sampai END di mana... sebenarnya sudah END juga tapi belum di-publish keseluruhannya...

Anw, terima kasih banyak bagi yang mau mampir.Ini adalah cerita terpanjang dan terseru yang pernah saya bikin. Ditambah desain sampul saya edit sendiri nih. Niat banget, kan? Haha. Kalian juga dijamin nggak akan nyesel mampir dan baca sampai selesai, haha!

Selamat membaca💓

.
.
.

"Hai, Nat, kenapa lo ngajak gue ketemu-"

Nafas Rea tertahan sesaat begitu dalam satu gerakan, Nata mendekat dan mendekapnya erat, seolah tak ingin lepas.

"Re...."

Rea berani bersumpah, selama kenal dengan Nata, gadis itu tidak pernah mendengar nadanya yang bergetar dan serapuh ini. Pasti ada sesuatu yang tidak beres yang menyebabkan air mata kekasihnya merembes.

Rea balas memeluk bahu lebarnya, mengelus bahu Nata menenangkan. "Nat? Lo kenapa? Cerita sama gue, ya? Ada apa?"

Bukannya sejam lalu Nata baik-baik saja, dan justru tertawa bahagia bersamanya di dalam telepon karena kabar gembira pernikahan orangtua masing-masing, kan?

"Ini tentang orangtua kita, Re...."

Firasat Rea tidak enak.

"S-sebenarnya... sebenarnya gue.... anaknya Bu Wening."

Tanpa Nata melanjutkan detailnya, Rea sudah langsung bisa menebak ke mana arah pembicaraannya.

"Apa?!"

Seruan terkejut itu mampu menyakiti Nata lebih dalam, membuat isakannya makin sesak. Bu Wening? Guru mereka yang akan menikah dengan ayah Rea tiga hari lagi? Mimpi mengerikan macam apa ini? Kedua mata Rea memanas. Wajahnya memucat. Jemarinya terkepal. Hatinya sesak. Pernyataan dari Nata dirasanya konyol. Pertahanannya runtuh. Rea terisak sembari mendorong-dorong keras dada Nata mundur.

"Bego, bego, bego!!" Mendorong Nata mundur lagi, lagi... "Lo bego, tahu nggak?! Kenapa lo baru ngomong sekarang, Nat?" ...dan lagi. Nata tidak melawan. "Kenapa? Kenapa lo... jahat?"

Rea pasti sedang bermimpi, kan?

Nata menghentikan kepalan tangan Rea yang dirasa dorongannya makin pelan seperti putus asa. Matanya terpejam rapat seiring air matanya keluar dan isakannya yang dikalahkan Rea yang makin keras. Gadis itu benar-benar hancur. Nata menurunkan tangan Rea, menggenggamnya, seolah menguatkan gadis itu.

"Maaf... gue nggak tahu, Re...." Tersekat. "Gue nggak tahu kalo ternyata wanita yang akrab sama lo... yang mau nikah sama bokap lo... itu nyokap gue.... gue tadinya bener-bener nggak tahu, Re... Maaf... Maaf..." Nata terbata-bata saat mengucapkannya seolah tidak mampu lagi mengucapkan kenyataan terpahit di dunia.

Dia juga tidak menyesal memberitahunya sekarang karena akan percuma mau dirahasiakan sampai kapan pun semuanya akan terungkap dengan sendirinya, bukan?

Tatapan hancur keduanya bertemu.

"Gue benci lo!"

Tiga kata itu pada akhirnya menggugurkan Nata dari atap-atap rumah sakit, gedung belakang sekolah, gerbang sekolah tempat mereka lompat untuk masuk karena sama-sama telat, secangkir matcha di apartemen, kamar apartemen, balkon kamar, sunset-sunset di pantai pulang sekolah beserta tawa-tawanya, kuburan-tempat mereka memulai resmi berpacaran, saat-saat untuk kedua kalinya mereka berciuman-karena yang pertama tidak sengaja saat di UKS yang sempat membuat Rea gila, dan mungkin yang terakhir adalah danau, di mana mereka menari-nari di bawah naungan hujan dengan tawa bahagia tanpa ada beban, tanpa rasa sakit, tanpa mereka tahu bahwa setelahnya mereka mengetahui kenyataan yang menyakitkan.

"Maaf." Lagi, sebelum pada akhirnya Natarel Andreano berbalik untuk pergi meninggalkan Andrea Wulandari sendirian dalam sepi.

Rea menutup wajahnya, menggeleng-geleng kecewa dalam isakkan. Hancur. Lebur. Hebat, Rea berkali-kali dibuat rapuh-sempat kehilangan mamanya, paman dan bibinya, sahabatnya, dan sekarang... sekarang dia harus kehilangan kekasih tercintanya juga? Ternyata skenario Tuhan yang mengejutkan tidak semuanya begitu indah.

Hati Rea retak berkeping-keping hingga bingung caranya menyatukan hingga utuh kembali. Lututnya terasa lemas dan jantungnya berdebar cepat seperti orang yang mengalami takikardia seiring tangisannya yang meraung, menggema di taman itu.

Rea berteriak seiring tangisan, meneriaki semua amarah, keraguan, dan keputusasaan. Dan tidak ada yang menyaksikannya di sini karena Nata benar-benar pergi. Rea kecewa, marah, hancur, sesak luar biasa. Dunia yang dipijaknya tak lagi sama. Ulu hatinya seperti ditusuk belati paling tajam. Kenyataannya, dia tidak pernah kehilangan Nata, hanya sadar bahwa dia memang tidak seharusnya memiliki Nata sejak awal.

Semuanya telah berakhir. Karena kalau kisah cinta mereka dilanjutkan, sama saja mereka menghancurkan kebahagiaan orangtua mereka, kan? Benar-benar pilihan tersulit. Maka, mengalah adalah satu-satunya jalan keluar. Mungkin mereka akan seperti air laut di persimpangan Pasifik dan Atlantik yang tidak bisa menyatu.

.

Hmm, bicara soal konflik, karena saya bukan pecinta konflik berat, bukan juga pecinta konflik ringan (walaupun banyaknya di ringan), dan bukan juga pecinta happy or sad end (bisa berubah²), jadi saya buat konflik di sini ya sedang-sedang aja. Kalo terlalu berat gitu pasti ada rasa gk rela bgt, ga tega, jadi dijamin gk berat kok konfliknya, apalagi saya masih belum pro bgt kok nulisnya, wkwk.

Btw, mohon ambil hikmah positifnya ya!

NATAREL✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang