"GIMANA, sih... rasanya ditikung sama sahabatnya sendiri? Apalagi... sahabat dari kecil."
Gadis berkepang susun dua yang tengah menikmati mi kuahnya itu mendongak setelah dihadapkan sebuah foto layar ponsel persis depan matanya yang menampilkan dua orang familiar di dalam kafe tengah duduk berhadapan dan... terlalu dekat. Satu orang tersebut jelas adalah sahabatnya. Di depannya, seorang cowok memunggungi kamera yang terlihat familiar dari belakang.
"Gila, ya? Bisa-bisanya dia nusuk temennya sendiri dari belakang." Itu Febby. Kapten dance. Cantik, dan fashionable. Bisa dibilang, Febby itu termasuk jajaran siswi paling populer di sekolah. Terkenal barbar, angkuh, tidak takut dengan siapapun, dan suka mencampuri urusan orang lain-contohnya seperti saat ini.
Karin sedari tadi hanya terdiam menatap foto itu. Mendadak, dia tidak berselera melanjutkan makan. Gadis yang mengenakan seragam dance yang sama dengan enam murid di sekitarnya termasuk Febby itu berdiri. "Bisa nggak, sih, lo jangan nyari ribut dulu?" geram Karin panas. "Lo ganggu gue yang lagi makan, tahu nggak?"
"Siapa yang cari ribut?" tukas Febby. "Gue cuma mau nunjukin fakta ke elo... biar lo tahu, mana sahabat, dan mana yang penghianat." Febby dengan gerakan manis menunjukan layar ponselnya sekali lagi yang masih menyala. "Btw, gue juga udah ini sebar di grup." Cewek itu tersenyum licik.
Karin melebarkan matanya. "Sejak kapan lo tambah gila?"
"Semua anak yakin kalo ini tuh Devon. Cowok yang lo suka, kan?"
Karin mendekat, menatap mata Febby tajam. Karin dan Febby memang cukup saling kenal karena satu club dance. Tapi jujur saja, Karin beserta teman-temannya yang lain tidak menyukai cewek ini karena, yah... contohnya ini. Suka memancing masalah dan mencampuri urusan orang lain. "Emangnya lo lihat secara langsung kalo cowok di sini tuh Devon?"
"Nggak lihat pun, udah ketebak, Sayang," sela Febby dengan nada lembut lagi. "Siapapun yang lihat foto ini... bakalan satu pemikiran juga sama kita. Ya, nggak, guys?" Febby berseru meminta persetujuan semua murid di kantin.
Sebagian bersorak kompak menyetujui dan saling melempar komentar-komentar negatif.
"Apa spesialnya si anak baru, sih, sampe-sampe puluhan cewek yang ngejar-ngejar Devon aja susah buat luluhin hatinya."
"Parah banget, sih, diem-diem ngegebet Devon."
"Si Devon diguna-guna tuh pasti sama si anak baru."
"Nggak kasihan apa sama Karin? Padahal sahabatnya."
Karin merasa tidak terima sahabat satu-satunya itu ramai dijadikan trending topik gosip hangat siang ini. "Heh, kalian jangan ngawur kalo nggak ada bukti itu Devon!" serunya meledak, sebelum menoleh kembali ke arah Febby. "Dan lo. Lo jangan bikin nama sahabat gue jadi jelek!"
"Sahabat lo?" Febby tertawa kecil. "Kalo dia sahabat lo, harusnya dia nggak jalan sama cowok yang lo taksir, kan?"
Tepat pada saat itu, seseorang yang baru saja ramai dibicarakan, datang bersama kedua temannya. Rea, Zara, dan Audrey. Ketiganya tengah sibuk memilih tempat duduk, belum menyadari kalau mereka tengah diperhatikan seisi kantin dengan keadaan hening. Semua pasang mata kini hanya mengarah ke satu titik yang sama.
"Ya, Rea," panggil Febby. "Sini, deh, Ya."
Yang di panggil menoleh bersamaan dengan kedua temannya. Begitu matanya melihat seorang kapten dance menggerakkan tangan menyuruhnya ke sana-dia tersadar kalau ternyata diperhatikan seisi kantin sedari tadi.
"Gue?" Bodohnya, Rea menunjuk dirinya sendiri memastikan. Ternyata di sana juga ada Karin, Rea jadi bertanya-tanya, siapa gadis yang memanggilnya itu?
"Bener lo Rea, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...