"WOI, JANGAN LARI LO!"
Seolah alarm di kepala Nata menyala, dia tidak tahu akan mengendalikannya seperti apa. Tatapannya jatuh pada tangan mungil yang menyeret lari pergelangan tangannya menghindari gerombolan biang rusuh jalanan. Lelaki itu masih terus berlari dengan Rea yang memimpin di depan.
Perlakuan Rea yang justru membawanya kabur, jelas bukanlah sebuah solusi, tapi ingin menyelamatkan diri.
Gadis itu mungkin tidak salah, juga tidak bisa dibilang benar menurut Nata. Tapi kalau dia kabur begini, jelas namanya pengecut. Sedangkan di sisi lain, kalau dia menghajar Gen Petir satu persatu tidak mungkin juga karena jumlahnya kalah telak.
Jadi, Nata menyetujui keputusan (tanpa rencana) Rea untuk kabur dengan bergantian menggandeng tangan mungilnya dan bergantian memimpin di depan.
Saat Nata yang memimpin, larinya entah kenapa lebih cepat dibanding saat Rea yang memimpin tadi hingga kejaran gerombolan di belakang makin jauh. Jujur saja, kedua lutut Rea sudah lemas rasanya. Untung nyeri karena pukulan Ferdian sudah reda, kecuali perih di bibirnya yang robek belum baik-baik saja.
"Nat..., gue udah nggak kuat!" keluh Rea sambil ngos-ngosan di tengah lari mereka yang kini menyusuri tempat terpencil sebuah pedesaan. Melewati rumah-rumah saling berjejeran dan berhadapan.
Melewati anak-anak kecil asyik bermain, ibu-ibu ngerumpi di depan rumah, tukang sayur yang dikerubungi ibu-ibu lain sambil ngegosip, dan para pria yang sibuk tarung ayam jago. Rasanya seperti mereka berlarian satu kilometer lebih, tapi tidak sejauh itu.
"WOI, PENGECUT KALIAN!"
Sebenarnya Nata bisa membantu Rea istirahat sebentar, tapi gerombolan beserta teriakan-teriakannya di belakang masih terus mengejar. Sampai-sampai para pedagang luar pasar menyumpah serapahi mereka semua karena merusak segalanya. Nata yang memimpin, berulang kali mengucap maaf dengan sopan, tapi tidak sempat berhenti lari saat mengucapkannya.
Seperti mati rasa, kaki Rea sudah tidak bisa digerakkan lagi. Tapi begitu cengkeraman Nata di telapak tangannya yang mengerat, dan gerombolan mengerikan di belakang tidak berhenti mengejar, membuat Rea memaksakan kakinya terus berlari mengikuti Nata yang bahkan hilang arah.
Nata menendangi benda apapun termasuk tong sampah agar menggelinding ke belakang hingga memperlambat lari mereka. Akhirnya sepuluh meter kemudian, mereka berdua menemukan gedung penyimpanan dari pabrik rongsokan yang sedikit terbuka.
Keduanya memutuskan bersembunyi di sana tanpa suara.
Nata dan Rea bernafas tegang lewat mulut. Keringat mengucur badan masing-masing. Begitu terdengar teriakan-teriakan bersama beberapa derap langkah kaki berlarian melewati lokasi keduanya, Nata sontak membekap mulut Rea membuat gadis itu meliriknya panik. Tapi perlahan suara-suara itu mengecil sebelum menghilang akhirnya. Keduanya baru bernafas lega persis saat Nata melepas bekapannya.
Keringat dingin membanjiri tubuh keduanya. Dahi Rea tiba-tiba jatuh ke pundak kiri Nata bersama genggaman mereka yang merenggang. "Sumpah... ini gila. Ini bener-bener gila, lo tahu?"
Nata tertawa parau dengan dada naik turun-jantungnya masih berdetak lebih cepat efek berlari tanpa henti, ditambah saat Rea bersender di pundak lebarnya membuat jantungnya tidak aman.
Nafas keduanya mulai teratur begitu sama-sama mengambil posisi duduk dan bersender pada tembok saling mepet di balik rak besar berisi kardus-kardus yang cocok digunakan untuk bersembunyi. Tempat itu gelap membuat keduanya tidak bisa melihat satu sama lain.
"Lo pikir siapa yang mutusin kabur duluan?" Nata menoleh walaupun tidak bisa melihat jelas wajah Rea.
"Ya terus lo mau hajar mereka satu-satu? Yang ada lo mati duluan-" Rea menggeleng. "-kita," ralatnya. "Lo tau? Mereka kayaknya ada lima puluh orang. Gila, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...