"K-KAK Elang...?"
Sekali itu, jemarinya mengepal bersamaan dengan senyum seseorang yang mengembang mengerikan.
"Apa kabar?"
Lelaki dua tahun lebih tua di hadapan Rea berambut gondrong seperti tidak pernah disisir, pakaian lusuh seperti tidak pernah dicuci, celana robek-robek, dan terlihat ada tatoo menyembul dari balik kaus yang dibalut jaket. Sudut bibirnya yang melengkung dan mata mengerikannya itu seolah menunjukan kalau dia sudah berhasil mendapatkan mangsa tinggal menunggu kapan waktunya tiba.
Rea memundurkan langkah waktu sosok itu perlahan mendekat. "J-jangan...." Raut Rea makin pias. Ketakutannya bertambah, seolah di depannya bukan manusia, tapi harimau yang siap memangsa kapan saja.
"Apa kabar, Rea sayang?" Laki-laki itu menelisik tubuh Rea dari atas sampai bawah. Dan pas sekali saat itu pikirannya melayang ke mana-mana karena Rea memakai hotpants yang membuat paha mulusnya terekspos. Sinting.
"PERGI!!!"
Nafas Rea memburu waktu cowok itu mendekat lagi. Mendadak keringat bercucuran padahal dia baru mandi.
"Udah berani bentak-bentak, ya, sekarang?" Senyum mengerikan cowok yang lebih tua dari Rea itu belum luntur. Sangat mengerikan, sangat, sangat... membunuh.
Sebuah kulit pisang yang sempat dikelupas oleh Rea itu dilempar hingga tepat sasaran-mengenai wajah cowok itu.
"PERGI! GUE BILANG PERGI!!"
Benda apa saja yang ada di belakangnya, rasanya ingin Rea lempar ke wajah laki-laki itu agar dia segera pergi, tapi apapun yang dia lakukan jelas tidak mempan. Semakin Rea memberontak dengan lemparan-lemparan benda di belakangnya, semakin cowok itu tertarik mendekatinya.
Rasanya Rea ingin menangis sewaktu cowok itu mengejarnya. Dia tidak mempunyai jalan lain lagi-apalagi otaknya sedang tidak bisa diajak kompromi. Bukannya keluar rumah, langkahnya justru dipercepat menuju lantai dua. Pintu kamar itu dibanting keras-keras begitu Rea sudah masuk dan memepet pintu dengan isakan parah hingga melupakan satu hal bahwa knopnya belum diperbaiki hingga tidak bisa dikunci.
Tuhan... bagaimana ini? Rea takut...
"Masih mau main-main, ya?"
Rea menggigit bibir bawahnya menahan isakan saat mendengar suara cowok itu sudah di depan pintu. Rasanya Rea ingin memilih jalan jatuh dari balkon lantai dua saja daripada dijadikan mangsa malam ini juga. Mungkin hari ini adalah hari kerusakan akhir hidupnya.
BRAKKK!
"AAAAAAAA!!!!"
Jeritan terdengar memenuhi ruangan karena pintu kamar itu didobrak tiba-tiba hingga tubuh Rea jatuh berdebam ke lantai. Kemudian yang dilihat selanjutnya... adalah gelap.
Lelaki yang sengaja mendobraknya terkejut ketika mendapati Rea sudah jatuh pingsan. Dia berjongkok khawatir. Jemarinya mengangkat kepala Rea ke pangkuannya.
"Rea. Rea! Bangun, Sayang!"
"Rea, hei..." Kedua pipi Rea ditepuk berkali-kali. Cowok itu mengangkat tubuh Rea, membaringkannya asal di atas ranjang.
Wajah lelaki itu sangat dekat dengan dengan wajah pucat Rea, berulang kali dia menepuk-nepuk kedua pipi Rea. Tapi tetap tidak ada pergerakan dari gadis itu sampai-sampai lelaki itu mengecupi kedua pipinya, kedua mata, dahi, ujung hidung.
"Sayang...," panggilnya pelan saat ciuman nafsunya mendarat di bibir pucat Rea. Nyaris jemarinya bergerak merogoh punggung kaos Rea-kalau saja tidak ada teriakan dua sosok lain di depan pintu mencegahnya. Lelaki itu menoleh terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...