REA menguap sewaktu mendengarkan Bu Wening sedang menjelaskan salah satu materi pelajaran Matematika. Pelajaran belum berakhir. Tapi Rea sudah meminta izin dengan alasan ke toilet. Padahal justru kakinya melipir keluar area sekolah lewat jalur belakang.
Kepalanya celingukan, takut-takut ketahuan satpam. Tapi sepertinya tempat ini aman dijadikan jalan pulang. Tanpa pertolongan siapapun, gadis itu manjat tembok pembatas yang tingginya melebihi tingginya itu, lalu turun dengan mudah, seolah sudah berpengalaman.
Saat turun, Rea dikejutkan oleh beberapa anak dari SMANJING. Mereka bergerombolan dan rata-rata lelaki semua. Kira-kira ada enam belas anak berseragam SMA saling berjaga-jaga di sana dengan tatapan-tatapan tak bersahabat. Beberapa di antaranya membawa senjata seperti tongkat baseball, kayu, kapak, masih banyak lagi-persis seperti gerombolan hendak tawuran.
Raut Rea berubah setengah panik. Dia menelan ludah waktu mereka menyadari keberadaannya. Saat dia hendak pergi, ternyata ujung jaket denimnya nyangkut di salah satu ranting pohon. Kepanikan bertambah dua kali lipat, membuat Rea memaksa jaketnya agar terlepas dari ranting hingga ranting itu ikut patah. Tapi meskipun berhasil, dia sudah dipergoki berandalan-berandalan itu.
Tatapan mereka saat melihatnya, seolah mereka adalah para kucing tengah kelaparan dan dirinya hanya seekor ikan asin yang bisa dimangsa kapan saja.
Salah satu dari mereka, yang paling menonjol membawa kapak mendekat. Rea sudah berbalik hendak kabur, tapi punggungnya tiba-tiba dilempari ransel besar milik cowok itu hingga membuatnya otomatis terjatuh ke depan. Gadis itu mengaduh pelan begitu merasakan kedua lututnya tergesek aspal. Beruntung yang dilempar bukan benda tajam, batu-batu besar, atau senjata apapun yang bisa membahayakan orang lain. Tapi tetap saja... rasanya mengerikan.
"Mau ke mana?"
Rea yang masih dengan posisi jatuh, dipaksa berdiri begitu kedua lengannya diangkat paksa oleh dua cowok lain. Lututnya berdarah-darah, tapi rautnya tidak menunjukkan kesakitan.
"Mata-mata Abipraya, kan, lo?" Itu suara cowok yang tengah mengulum permen gagang dengan seragam tidak dikancingkan hingga menampilkan kaosnya dari dalam sambil membawa tongkat baseball yang disampirkan di satu pundak.
Rea menyentak lepas lengannya, kemudian membersihkan telapak tangannya dengan gerakan santai. "Bukan," jawabnya, berusaha mencari kesibukan apapun selain menatap mereka bergantian.
"Bohongnya ketebak banget."
"Lo mata-matain kita dari tadi?"
"Mana curut lo? Bawa sini."
"Gue bilang bukan, ya bukan!" Rea balas membentak dengan tatapan tajam ke arah mereka. Namun sedetik berikutnya, salah satu tongkat baseball dibanting tepat di dekat kaki Rea, membuat gadis itu tersentak mundur. Rea menelan ludah menatap tongkat itu di dekat kakinya.
"Berani banget lo melototin kita?!"
"Woi!"
Baru saja berandal tadi hendak melayangkan pukulan untuk Rea, tapi suara yang membuat semua pasang mata kini mengalihkan pandang ke sumbernya, membuat tongkatnya diturunkan, urung. Ada enam anak memakai seragam sekolah yang sama dengan Rea. Dua orang yang dia kenal itu sekelas dengan Rea; Jacky dan Farel, sekaligus teman-teman Nata-sisanya tidak dikenal.
"Ya elah... beraninya sama cewek," celetuk Farel meremehkan. "Ckckck, banci bener."
"Tempatnya bukan di sini, bro," timpal si rambut kebiruan yang bernama Jacky.
"Denger, Rio sekarang keluar dari tim gara-gara curut lo satu itu," ujar salah satu murid yang tadi sempat melempar tongkat. "Mana temen monyet lo, si brengsek Nata itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...