9 | Penyesalan Rio

263 175 16
                                    

Tidak ada hal yang lebih membuat kita merasa lebih tenang daripada saling memaafkan, kan?

"NAT."

"Hm?"

"Thanks, ya, Bro."

Di dalam jeruji besi itu, hanya ada Nata dan Rio. Tidak membuat kekacauan atau keributan. Tidak ada sarkasme atau tatapan intimidasi seperti saat-saat pertemuan mereka sebelum-sebelumnya. Beberapa menit lalu sebelum suara mereka terdengar, hanya ada keheningan dan kecanggungan di dalam sana. Seolah bingung hendak apa dan membicarakan soal apa karena mereka tidak pernah akur, bahkan dekat sekali saja tidak.

Polisi sudah menelpon orangtua mereka masing-masing, tinggal menunggu kedatangannya.

Nata hanya punya ibu dan saudara sebayanya di rumah. Semua orang sibuk. Saudaranya entah sibuk dengan olimpiade, turnamen basket, atau kegiatan apapun yang menurut Nata akan makin membosankan kalau diceritakan beserta semua kompetisinya. Lalu mustahil juga ibunya datang. Dia adalah seorang ibu yang juga supersibuk dengan kerjaanya. Selain sibuk menjadi guru, beliau juga bekerja melanjutkan bisnis perusahaan peninggalan kakek Nata.

"Kenapa lo mau nyelametin gue?"

Nata mendongak ke langit-langit jeruji besi yang dipegangnya. Mendengar pertanyaan itu keluar, laki-laki itu perlahan menoleh ke arah Rio yang tengah duduk lesehan di belakangnya sambil melingkarkan kedua lengannya ke sekeliling lutut yang ditekuk. Beberapa permukaan kulit wajahnya yang terluka sudah diobati.

"Karena emang itu sudah menjadi tugas sebagai sesama manusia, kan?" Nata mengambil posisi duduk tiga meter sebelah kanan Rio.

"Tapi itu Ferdian, Nat. Temen lo." Rio sedikit protes gemas. Seharusnya Nata tadi kabur, maka tidak akan bernasib malang seperti dirinya di sini. Meninggalkannya seperti yang dilakukan teman-temannya, bukan malah menyelamatkannya, kan? "Harusnya dia yang lo bela."

"Dia udah kabur dulu. Ngapain juga harus gue bela? Dia yang mulai duluan, kan, ke elo?"

Tatapan Rio kini kosong ke depan, kepalanya digeleng-gelengkan pasrah. "Gue nggak tahu nasib gue nantinya kayak gimana kalo tadi nggak ada lo. Mungkin gue udah mati babak belur di tangannya."

"Lo mati juga bukan urusan gue." Walaupun Nata tadi berbuat baik kepada Rio itu tulus, tapi jauh dari dalam lubuk hatinya, laki-laki itu masih menyimpan dendam atas semua kelakuan brengsek Rio selama ini.

"Bahkan..." Bibir Rio bergetar, ekor matanya melirik ke samping lain, menyembunyikan rautnya dari Nata agar cowok itu tidak bisa melihatnya yang sedang menahan tangis. "Bahkan temen-temen gue penghianat semua, Ta. Mereka justru ninggalin gue di saat gue lagi sekarat kayak tadi."

Air mata Rio merebak. Sekarang dia baru sadar, mana penghianat, dan mana yang pantas disebut sahabat.

"Sementara lo... elo yang notabennya musuh gue... tapi malah lo yang nyelametin gue. Gue... udah jahat banget...," sambungnya terisak.

Kedua tangan Nata terulur, mendekap kepala Rio yang dipukul-pukul bodoh oleh tangannya sendiri.

Terkadang, sahabat bisa menjadi musuh dalam selimut. Dan musuh bisa menjadi sahabat. Mungkin suatu saat mereka akan begitu. Nasib keduanya sama: sama-sama baru dikhianati oleh sahabat sendiri.

Nata menepuk-nepuk bahu Rio menenangkan. "Ssssttt, udah, udah, elah. Nggak usah lebay. Ini bukan lo banget, Yo." ucapnya. "Gini, ya, Yo. Gue bukannya kasihan sama lo, bukan." Rangkulan mereka perlahan merenggang. "Gue hanya kasihan sama kedua orangtua lo karena kelakuan anaknya sendiri. Ya lo pikir-pikir lagi, deh, ya. Mereka udah korban banyak ke elo, tapi elonya malah kayak gini. Coba pikirin gimana perasaan mereka? Lo ngerasain nggak?"

NATAREL✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang