REA sempat bertanya-tanya di mana letak toilet kepada kasir. Setelah mendapat petunjuk, bukannya ke toilet justru Rea keluar kafe lagi hendak kembali ke tempat sebelumnya. Mungkin menghabiskan americano-nya sambil mengajak Nata berdebat sedikit menghibur kesendiriannya saat itu.
Namun, belum mencapai tempatnya, langkah Rea terhenti karena mendengar sebuah dialog yang isinya sedikit menyinggung perasaannya.
"Ya... cewek kayak dia tuh nggak ada apa-apanya kalo dilihat-lihat. Udah sekolah nggak niat, matre lagi. Kemarin gue lihat dia jalan sama Om-Om di restoran. Pake mobil mewah milik tuh Om-Om kayaknya. Tajir. Gila, kan, pacarannya sama Om-Om tajir?"
"Matre-matre gitu, siapa, sih, yang mau sama dia? Cewek nggak laku itu, mah."
"Suuzan lo. Tapi... emang kayaknya iya, deh. Orangnya jutek lagi. Yah... tapi tetep keliatan cantik, sih."
"Ya lo pikir-pikir lagi, deh. Pas sama Om-Om aja kelihatan manis banget. Di depan orang kayak kita-kita, nih, juteknya nggak ketulungan. Udah pasti nggak laku tuh pacarannya sama Om-Om."
Bahkan, belum sempat Rea mendengarnya lagi hingga selesai, matanya tanpa sengaja bersitatap dengan mata Nata. Rea menyadari ada keterkejutan dari sorot matanya. Bener-bener cowok nggak punya hati! Itu adalah isi benak Rea yang rasanya ingin dia utarakan di hadapan cowok itu, namun mendadak nafsunya hilang seketika. Lantas dia berbalik, dan buru-buru mematri langkahnya menuju parkiran. Menahan emosi yang memuncak. Rea muak.
Nata otomatis berdiri setelah membeku beberapa saat. Tidak menyangka keburukan Rea dan kata-kata pedasnya tadi didengar oleh telinga sang empunya sendiri.
Rendi ikut berdiri. Saat hendak mengikuti arah pandang Nata, cowok itu buru-buru merangkul dan mengalihkan pandangannya.
"Liat apaan?"
"Enggak ngeliatin apa-apa," ucapnya beralibi dengan raut yang berusaha menampilkan raut bersahabat lagi. "Sono lo balik kerja. Dimarahin Pak Syaban mampus lu." Nata mendorong Rendi mundur pelan. Mungkin karena saking kurusnya, Rendi mudah ikut terdorong mundur. Kemudian Nata berpura-pura menutup hidungnya. "Lo bau, ih, mandi sekalian sana!"
Dahi Rendi berkerut, lalu mencium badannya sendiri yang tidak menemukan bau apa-apa, tapi masih wangi parfum. "Enak aja! Kagak bau apa-apa gini!"
"Lo bau kentut!"
"Eh, sinting lo, Nat."
Nata tertawa kecil. Baru saat teman lamanya itu kembali masuk kafe, Nata akhirnya bisa menghela nafas lega. Setidaknya Rendi tidak mengetahui keberadaan orang yang dijadikan bahan topik keduanya.
•••
Rea membasuh wajahnya berkali-kali. Sampai airnya berpusat di dagu, cewek itu menatap wajahnya sendiri di cermin. Guru menyebalkan itu... lagi-lagi membuat Rea harus keluar di jam pelajaran kedua. Siapa lagi kalau bukan Pak Dendy?
Penyebabnya karena dia kepergok tidur di kelas. Efek tidur larut malam, begadang menonton drama kelewat tegang hingga ketagihan menonton sampai tamat. Tenang, drama itu tentang misteri pembunuhan. Bukan seperti yang kalian pikirkan.
DUAKH!
Suara dinding yang dipukul sekali dengan keras menggema di toilet, membuat Rea nyaris terpeleset saking kagetnya, tapi beruntung dia langsung memegang pinggiran wastafel hingga bisa menjaga keseimbangan. Asal suaranya sepertinya dari arah toilet cowok. Di toilet cewek sepi, begitupula toilet cowok yang kini Rea lewati. Kaki Rea lanjut mematri langkah ke gedung belakangnya dengan penasaran.
"Emang minta dipatahin lehernya nih anak."
"JIJIK! MATI LO!"
Amukan Zizad-anak kelas sebelah, seangkatan dengan Rea-semakin menjadi-jadi. Dia dan kedua temannya memang suka berbuat onar, memalak, berbuat hal keji lain kepada murid-murid lain. Seolah bebas berkuasa di sekolah, jadi berbuat seenaknya bukan sebuah masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...