"AKHIRNYA lo dateng juga, Rin. Buruan, bantuin susun buku-buku baru, gih. Ada banyak banget kiriman buku baru soalnya." Cia mengangkat sekardus buku-buku dibantu Bobby yang kebetulan bertugas juga di dalam perpustakaan.
"Ya ampun... kemaren, kan, gue udah tugas? Masa sekarang gue lagi, sih?" keluh Karin, berkecak pinggang sedikit tidak terima, padahal hari ini bukan tugasnya. Walau begitu, tapi tetap saja dia melaksanakan tugas mengangkat kardus dan menyusun buku-buku di rak.
Di tengah-tengah pekerjaannya menyusun buku-buku di rak, saat berjongkok, ada kaki berhenti di sampingnya. Gerakannya sontak ikut terhenti begitu tatapan Karin terpaku pada sepasang sepatu hitam itu. Pelan-pelan gadis itu pun mengangkat wajah untuk melihat pemilik tubuh yang menjulang tinggi di hadapannya itu. Devon.
"Eum... itu... anu, Rin."
Mata Devon melirik atas samping. Seolah bingung ingin memulai percakapan dari mana. Devon bergumam-gumam tidak jelas dengan ujung sepatu yang digerakkan seperti sedang menggambar asal di lantai, sementara kedua tangannya sudah disembunyikan di belakang-seperti seseorang yang tertangkap basah baru dipergok bersalah dan hendak mengakui kesalahannya.
Dahi Karin berkerut sambil berdiri dan mengangkat kardus. "Apaan? Nggak jelas banget, sih, lo, Dev?" Mungkin efek mendadak dia bertugas lagi hari ini, gadis itu terlihat tidak sabaran.
"Itu... komik yang kemaren lusa ternyata seru juga." Mata Devon masih menghindari kontak mata Karin. "Bener kata lo. Gue baca ampe seharian langsung tamat."
Mata Karin berbinar. Rautnya berubah drastis kembali ke Karin yang asli. "Wohoho, bener, kan, apa kata gue?" Gadis itu tersenyum antusias. "Nah, kalo lo demen sama komik itu, mau gue kasih rekomendasi lagi nggak? Gue cukup ahli, lho, soal ini. Oh ya, lo juga coba deh, buka blog yang gue kirim. Di sana ada banyak informasi soal komik-komik horor yang menarik. Rea, sahabat gue aja sering minta rekomendasi ke gue."
Devon mengerjap. "Ah, jadi maksud lo temen yang sering rekomendasiin lo komik itu Rea?"
Karin mengangguk-angguk masih antusias. "Kalo fantasi, sih, bukan dari R-"
"Kalo gitu kasih tahu gue lagi dong, mana komik yang menarik buat dibaca. Terus yang pernah lo rekomendasiin ke Rea juga, " pinta Devon mendadak juga berubah antusias.
Perlahan namun pasti, senyum Karin luntur seketika. Entah kenapa, ada sebagian dari dalam dirinya yang retak ketika mendengar nama Rea disebut-sebut oleh cowok ini secara excited. Lagi-lagi ada Rea di antara mereka. Padahal cewek berkepang dua itu sudah bahagia bisa mulai dekat dengan cowok idamannya. Namun, nama 'Rea' entah kenapa ada sesuatu yang mengusiknya begitu Devon berubah antusias saat Karin menyebutnya.
Merasa Karin tak kunjung bergerak malah menatapnya aneh beberapa detik, Devon memanggil, "Rin?"
Karin tersadar dan memaksa senyumnya. "Ah, iya. Bentar gue cariin lagi." Gadis itu akhirnya berbalik, mencarikan komik yang menurutnya menarik untuk Devon. Berusaha membuang jauh-jauh rasa irinya terhadap Rea.
•••
Sepulang sekolah, Rea selalu mengendarai motornya dengan tenang. Selalu tenang sampai tidak ada yang mengusik ketenangannya. Setidaknya sampai dia melihat tiga pengendara motor dari arah spion kanan mengikutinya. Awalnya Rea tidak peduli dan mengira kalau motor itu hanya pengendara biasa. Namun lama kelamaan, ternyata mereka menghentikan jalan. Sontak Rea mengerem dadakan.
"Cewek kurang ajar!"
Kerutan di dahi terbentuk sewaktu tiba-tiba dibentak salah satu dari ketiga pengendara cowok lebih tua dari Rea itu. Dia melepas helmnya hingga menampakkan rambutnya yang dicepol asal berantakan, lalu Rea menyeka helaiannya yang keluar ikatan ke belakang telinga satu persatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...