"WOI, bangun, bangun! Udah mau Maghrib! Mau pulang nggak lo?" Nafas Nata sedikit terengah dengan keringat bercucuran di seluruh tubuh-sudah seperti mandi keringat saja.
Jemari kanannya menepuk-nepuk kedua pipi Rea. Gadis itu tak kunjung bangun, justru bergumam-gumam tidak jelas, menguap sambil merenggangkan kedua tangannya ke atas. Rea masih belum membuka mata, setengah sadar. Ransel milik Nata yang sempat dijadikan guling itu terjatuh. Tanpa sadar, dirinya juga nyaris ikut terjatuh jika saja telapak tangan Nata tidak refleks menahan kepalanya.
Kedua mata gadis itu perlahan terbuka. Objek pertama yang dilihat tidak ada lima senti di depannya adalah wajah Nata yang sangat dekat dengan wajahnya hingga hembusan nafas cowok itu terasa menampar wajahnya. Terjadi keheningan beberapa detik sebelum akhirnya teriakan Rea pecah persis di telinga Nata, dan satu tonjokan mendarat di rahang tegasnya.
Otomatis jemari laki-laki itu refleks terhuyung dan menyentuh bekas tonjokan.
Rea bergegas bangun dengan nafas terengah-engah- panik setengah mampus. Menahan keinginan untuk tidak sekalian membunuh Nata hidup-hidup saat itu juga, demi apapun. "LO MAU APAIN GUE, RESEK?! MUKA JELEK LO DEKET BANGET PASTI MAU APA-APAIN GUE, YA?!!"
Beberapa cowok melewati keduanya terbahak-bahak, seolah meledek Nata yang diomeli Rea habis-habisan, terlihat seperti seorang ibu tengah memarahi anaknya di tempat umum.
Raut Nata terlihat sulit dimengerti saat menatap Rea sebelum berdiri. "Penyakit GR tingkat internasional lo kayaknya kudu diperiksakan ke dokter segera, sebelum makin memuncak." Laki-laki itu merangkul ranselnya yang sempat jatuh ke satu pundak. Kemudian berbalik sembari mengambil sebotol mineral di kantung ransel yang tersisa setengah.
Meninggalkan Rea lagi yang masih dilanda kepanikan atas kejadian barusan.
"Woi, tungguin dong!"
Jalan Nata yang tergesa-gesa membuat Rea di belakangnya kesulitan menyamakan langkahnya lagi. Cowok itu meneguk habis air mineralnya sambil berjalan, menyisakan cairan sedikit, lalu membuang botolnya ke belakang-tepat di bawah kaki Rea hingga membunyikan suara "krekkk" saat diinjak gadis itu.
"Dasar lemot," ledek Nata dengan wajah datar waktu Rea baru sampai sepuluh detik setelah dirinya di parkiran.
"Apa lo bilang?" Gadis itu terengah-engah saat sampai dengan wajah memerah menahan amarah, siap dengan kepalan tinjunya di udara.
"Lo tonjok, gue tinggal."
Kalimat itu membuat kepalan Rea diturunkan perlahan. Kalimat simpel tapi keramat. Oke, kali ini Rea tidak punya senjata apapun untuk melawan cowok itu. Melawan sekali lagi, sama dengan mencari mati. Apalagi tempatnya sudah sepi.
Anehnya, Nata tidak pernah membalas waktu Rea melawan dengan kekerasan. Kata teman-temannya, cowok itu nakalnya kelewatan. Pernah ada cewek yang dibuat menangis kejer karena bentakan seramnya. Padahal cowok itu lama-lama ternyata tidak seseram yang mereka pikir. Malah, Rea ingin sekali menonjoknya jika berbuat macam-macam lagi tanpa menyayangkan wajah tampannya.
"Woi!" Jemari Nata bergerak sedikit kasar menurunkan kaca helm yang sudah dipakai Rea membuat gadis itu tersentak. "Malah bengong. Udah malem. Kesurupan di sini gue ogah tanggung jawab, loh, ya. Cepetan naik!"
Rea meliriknya kesal. "Iya, sabar!" Dia memegang kedua pundak Nata sebagai bantuan untuk mempermudahnya naik ke jok belakang. "Mampir ke warung makan dulu, ya? Gue laper, nih, dari tadi...."
"Lo kira gue ojek lo? Bodo amatlah. Mau lo laper, mau lo haus, dehidrasi, mati sekalian, lo pikir gue peduli?"
Rea merasakan wajahnya memanas, lagi, dadanya naik turun, rasanya seperti ada asap keluar di kedua telinganya. Tapi dia berusaha menyabarkan diri. Kalau dia berulah lagi, sangat tidak lucu kalau dia benar-benar ditinggal di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...