"RE, lo nggak mau bareng gue sekalian?"
"Nggak usah, jalan kaki aja sekalian olahraga."
Karin menahan tawa. "Gaya lo." Bahu Rea didorong pelan. "Keliling lapangan baru lima kali aja udah pingsan, mimisan." Yang diejek mencebik kesal balas mendorong. Karin tertawa. "Yaudah, ah. Gue duluan, oke? Tuh, udah dijemput Bundaaaa."
Karin berjalan lebih dulu sambil bertukar lambaian tangan dengan Rea menemui mobil kuning di depan gerbang yang kacanya perlahan turun, menampilkan seorang wanita cantik paruh baya yang pernah Rea temui beberapa kali dulu. Wanita itu masih sama dinginnya setelah insiden yang membuat hubungan keluarga Karin dan Rea merenggang. Karin masuk mobil sampai kaca mobil tertutup sebelum akhirnya menjauh dari gerbang sekolah.
Senyum Rea belum luntur sampai suara seseorang yang sekarang familiar di telinganya terdengar, membuatnya refleks menoleh di antara jejeran kendaraan di parkiran yang mulai tersisa sedikit.
"Gimana, mau nonton bareng nggak?" Nada menyebalkannya terdengar. "Gue ada koleksi banyak tuh di laptop," cengirnya hingga menampilkan lesung di pipinya.
Rea mendengus sewaktu melihat pemilik suara aslinya yang sudah nangkring di atas motor sambil menyesap rokok di parkiran, tidak jauh dengan tempatnya berdiri.
Dua kancing seragamnya dibiarkan terbuka dan tidak dimasukan ke dalam celana, dibalut jaket hitam, rambut acak-acakan seperti tidak pernah dirawat bertahun-tahun, dan yang paling menyebalkan adalah senyum remehnya yang seolah itu adalah privilage yang bisa membuat siapapun takluk."Heh, enak banget, ya, lo? Udah bolos dari jam ke tiga, sekarang udah nongol aja di parkiran. Ke mana aja lo?"
Alis sebelah Nata terangkat. "Kenapa lo nyariin gue? Kangen?"
Rea mendengus. "Pala lo. Tuh, udah dikasih banyak tugas dari Bu Zahra. Lo santai-santai banget, ya, anaknya?"
"Gue sekolah bayar. Bebas dong mau ngapain aja. Mana taksi lo? Lo sekolah naik taksi, kan? Apa dianterin sama Papi? Lo, kan, anak papi."
Meskipun jawabannya iya, Rea tetap saja tidak terima seolah itu terdengar ejekan di telinganya. "Lo nggak lihat gue lagi nunggu?"
Nata merubah posisi nangkringnya di motor menjadi menghadap ke depan sambil memakai helm, membuang putung rokok ke sembarang tempat sebelum menginjaknya, lali mengkaitkan pengait helm hingga terpasang sempurna dan terakhir menyalakan motornya.
"Ya udah, selamat menunggu sampai lo karatan, yaaa. Byeee."
Motor itu melaju melewati sisa genangan air di dekat Rea berdiri hingga membuat air kotor itu memuncrat, mengotori seragam Rea. Gadis itu memejamkan mata, refleks memekik, mengumpat, dan meneriaki nama Nata dengan berbagai macam nama-nama binatang. Dia berlari mengejar motor itu, namun motor Nata keburu keluar gerbang dengan laju cepat.
Demi apapun Rea kesal setengah mampus. Baru kali ini gadis itu bertemu dengan cowok resek semacam Nata. Kurang ajar! Jika saja Rea membawa motor, mungkin bisa mengejar atau lebih memilih cepat pulang dari tadi, daripada meladeni cowok kadal itu dan berakhir dikerjai. Berurusan dengan cowok itu memang benar-benar selalu menguras emosinya banyak-banyak.
•••
Waktu sudah menunjukan pukul setengah sepuluh malam. Namun, katanya Jakarta selalu dijuluki kota yang tidak pernah tidur. Jadi sekarang mata Rea sepenuhnya terbuka bersama Daddy-nya di sebuah restoran yang masih ramai pengunjung. Udara saat itu terasa dingin hingga Rea mengenakan sweater-nya.
Ke mana pun Irfan berada, jika ada siluet wanita, tidak pernah tidak ada yang mencuri-curi pandang ke arahnya. Tapi seorang ayah dan anak itu tidak memedulikan beberapa pasang mata yang menatap kagum ke arah mereka sambil menikmati makan malam berdua di dekat jendela.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...