"MUKA doang mulus, attitude minus."
"Siapa?"
"Siapa apa?"
"Siapa yang lo sindir?"
"Yang ngerasa aja."
Rea mengelilingkan pandang sebentar. "Lo pikir gue bodoh? Cuma ada kita di area sini."
"Lah yang bilang lo pinter siapa?"
"Dasar cowok nggak tau diri."
"Minimal sadar diri."
"Lo tuh yang sadar, udah ngambil hak gue."
"Apa? Hak apa?"
"HAPE GUE!"
"Ya elah, katanya orkay? Mana? HP-nya diambil aja masih minta balik."
"Kenapa? Ngiri banget lo gue kaya?"
"Haha, sori-sori aja, nih, ye.... Masih sadar gue kalo yang punya harta orang tua."
Di bawah teriknya matahari, depan tiang bendera milik SMA Abipraya, kedua murid berlawan jenis itu masih setia mengangkat satu tangan ke pelipis-membentuk hormat. Tidak ada yang mengambil jarak kurang dari lima meter.
Lima belas menit sudah berlalu, namun kedua murid yang dihukum itu tak henti-hentinya berdebat tidak jelas bak dua anak kecil yang berebut mainan. Yang satu suka memancing emosi, dan yang satunya bawel meminta haknya kembali.
Tubuh Rea bergeser ke kanan seiring dengan tangannya yang diturunkan, menghadap cowok di sebelahnya yang masih setia hormat, namun matanya melirik ke kiri, menunggu-nunggu bahwa pasti akan ada yang meledak sebentar lagi.
Rea tampak mengamatinya sebentar sambil menyipitkan mata. "Nggak habis pikir gue. Katanya... yang sebangku sama gue tuh paling pinter satu kelas? Ternyata ini? Tapi, kalo gue lihat-lihat, kelakuan lo nggak mencerminkan otak lo berfungsi?"
Merasa dipancing balik, Nata terdiam sejenak sebelum membalas dengan tenang, "Emangnya otak lo sendiri berfungsi? Alasan lo sebangku sama gue aja palingan juga karena otak lo yang nggak berfungsi."
Rea mengernyit tajam. "Mati kali, gue nggak ngefungsiin otak?"
"Nah, itu lo tahu." Kini Nata menurunkan tangannya. Dan keduanya saling berhadapan dalam jarak setengah meter. "Denger, gue nggak pernah ngizinin siapapun sebangku sama gue."
Rea mendengus. "Gue juga ogah kali, sebangku sama lo."
"Yang minat sebangku sama gue siapa?"
"Yang nerima gue sebangku sama lo juga siapa?"
"Gue nggak nerima lo."
"Ya gue nggak minta persetujuan dari lo."
"Yaudah, pindah kelas sana."
"Emangnya lo guru, ngatur-ngatur?"
"Noh, lesehan, noh, di lantai."
"Dasar monyet!"
Netra keduanya saling beradu tajam, seolah dua api dendam tengah berkobar. Jujur saja, gadis di depannya ini mengingatkan Nata dengan seseorang. Dan Nata benci mengingat sesuatu yang hampir mau dilupakan.
"Apa? Coba ulangi sekali lagi."
"Monyet! Lo monyet! Karena kelakuan lo mirip!" Tanpa ragu, Rea mengulang spontan setengah emosi.
Terdengar suara deheman keras Pak Gun dari belakang. Di belakang Pak Gun juga ada beberapa kawan sekelasnya yang tampak menahan tawa menyaksikan perdebatan keduanya sedari tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...