SUDAH tiga tahun setengah terlewatkan. Selama itu pula Rea harus memendam kerinduan terhadap Nata yang berada di negara tetangga melanjutkan kuliahnya di sana. Walaupun memang Nata menepati janjinya, sebulan sekali akan hadir di sisinya, tetap saja, sebulan bukanlah waktu yang cepat mereka bertemu. Apalagi Nata hanya dua hari menginap di rumahnya, itu artinya bertemu Rea tidak ada 48 jam. Kadang-kadang Rea merasa ingin menyerah saja dihadapkan dengan skripsi-skripsi memuakkan. Kepalanya rasanya ingin meledak.
Gadis itu sudah tiga tahun setengah kuliah di salah satu universitas ternama di Indonesia. Sekampus dengan Farel, Rio, dan Zara. Tenang saja, hubungan antara Rea dan Rio masih aman alias cuma sebatas teman.
Rio berpacaran dengan cewek dari fakultas kedokteran. Sementara Rea mengambil jurusan bisnis internasional. Mereka tetap akrab seperti teman biasa. Walaupun Rea dengan teman-teman yang lainnya jarang bertemu karena kesibukannya masing-masing, sesekali mereka berkumpul di basecamp seperti dulu.
Bahkan basecamp yang didirikan Gavin yang biasanya terawat, kini terlihat sedikit tidak terawat. Selain Nata, dari mereka yang melanjutkan kuliahnya di luar negri juga ada Audrey dan Satria-mereka sekampus karena Satria yang lebay tidak ingin jauh-jauh dari pacarnya, atau takut Audrey diambil orang lain yang lebih baik dari Satria. Btw keduanya mendahului yang lain bertunangan.
Kemarin adalah hari terakhir Nata di sini lagi, tinggal menunggu sebulan lagi mereka akan bertemu. Begitu pun seterusnya, entah sampai Nata mapan atau kapan.
Rea berusaha terjaga. Jemari-jemarinya mengetik keyboard sangat cepat dan lincah, saking terbiasanya. Sesekali Rea menguap. Tapi dia harus tetap terjaga karena besok deadline-nya. Yah, sifat ngaret-nya masih belum berubah.
"Rek, Rek!"
Gerakan Rea terhenti, menatap pintu malas. Sudah hafal siapa yang malam-malam mengganggunya, dia berseru, "THR yang Ibu kasih udah gue taruh di laci!"
"Yang itu gue udah tahu, elah. Buka dulu."
Rea berdecak, langkahnya gontai saat membuka pintu kamar. "Apa?!"
Mike. Laki-laki itu sekarang sedikit berubah mulai dari gaya rambut dan penampilan hingga membuat gadis-gadis di kampusnya banyak yang berusaha mendekatinya. Mike melupakan kacamatanya, tapi saat belajar laki-laki itu memakainya, semua karena saran dari Rea.
Katanya, Mike perlu merubah gaya dan penampilan agar tidak selalu dirundung seperti dulu lagi. Bahkan Rea juga mengajarinya fighting untuk melindungi diri dan tidak selalu bergantung kepada Rea, apalagi mereka juga tidak sekampus.
"Ada yang mau ketemu lo," bisik Mike.
"Malem-malem gini? Ck. Siapa coba? Ganggu aja."
Mike menunjuk ke belakang, tepatnya ke lantai bawah. "Noh, orangnya nunggu di depan rumah."
Rea menguap sambil menggaruk-garuk kepalanya malas. Gadis itu menutup pintu begitu Mike menuju kamar, lalu menuruni tangga. Jam menunjukkan pukul sebelas malam.
Manusia mana malam-malam mencekam begini yang ingin menemuinya?
Langkah Rea spontan terhenti begitu mengetahui siapa yang memunggunginya di luar. Dari belakang saja dia sudah hafal.
"Loh, Nata? Bukannya kemarin udah terbang?"
Parahnya, penampilan Rea sekarang seperti pengamen di lampu merah. Dia juga tidak memakai pelembab bibir. Duh, untung cantik.
Yang dipanggil dan ditanyai bingung berbalik. Kedua tangannya disembunyikan di belakang. Kini Nata sudah keliatan sedikit berbeda. Kulitnya tampak lebih bersih dari beberapa tahun sebelumnya, rambutnya undercut. Ketampanan cowok itu selamanya tidak akan memudar dalam pandangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...