"Katanya, kalo kita benci seseorang... inget kebaikan dia ke kita."
•
"KARENA... lo satu-satunya orang yang bisa diajak cerita."
"Cuma... gue?"
"Hm."
"Temen-temen lo?"
Nata tertawa meski tidak ada yang lucu. "Masalah keluarga mereka lebih rumit dibandingin gue, Re." Laki-laki itu mengangkat bahu. "Jadi buat apa gue repot-repot cerita ke mereka kalo ada lo yang bisa jaga rahasia?"
Mulut Rea terbuka hendak menanggapi setelah lima detik keheningan, tapi ponselnya berbunyi membuat Rea menutup kembali. Tertera nama 'Daddy' saat ponsel itu diangkat dari genggamannya.
Gadis itu sibuk menerima panggilan. Nata mengamatinya dari samping. Pembicaraan di telepon hanya berlangsung beberapa detik sebelum Rea lebih dulu mematikan sambungan.
"Anak Papi," ledek Nata.
"Iyalah, orang gue cuma punya bokap doang."
"Nyokap lo?"
"Udah nggak ada."
Nata tertegun. "Sorry?"
"It's okay."
Nata menatap Rea yang terlihat biasa saja, seolah sudah biasa mendapatkan pertanyaan semacam itu. "Pasti nyokap lo mirip lo, ya?"
Tebakan lucu Nata membuat Rea mendengus geli, karena rata-rata tentu saja anak perempuan mirip ibunya, bukan? "Iya, kan? Cantik," ujarnya sambil mengibas helaian rambut ke belakang penuh percaya diri.
"Galak."
Rea hanya melempar tatapan sinis sebelum berkata, "Dia itu pemarah dan keras kepala," ucapnya. Tatapan gadis itu lurus ke depan. "Gue sama nyokap lebih blakblakan nyokap. Tapi... segalak apa pun dia, waktu gue lagi sakit dia perhatiaaaan banget. Rela nunda meeting di kantornya demi ngurusin gue di rumah, rela ngundurin acara sama temen-temennya, pokoknya gue bersyukuuur banget punya ibu seperhatian dia."
Dia gantian bercerita dengan pandangan mendongak ke atas, menatap langit yang mendung. Seolah dari atas sana ada bayang-bayang wajah Mommy yang sedang menatapnya. Wajah yang sangat dia rindukan bertahun-tahun lamanya.
"Dulu emang nyokap sama bokap gue gila karier, tapi waktu buat ketemu sama gue tetep ada. Walaupun terkadang... gue sering diomelin karena, yah... sering ceroboh dan bikin masalah mulu. Gue nggak salah aja disalahin. Tapi mau bagaimana pun... gue nggak bisa benci sama ibu kandung sendiri, kan?"
Meski Rea bertanya dan tidak ada jawaban, dia melanjutkan ceritanya. Sejenak, Nata melupakan masalahnya saat larut mendengarkan cerita Rea.
"Kalo ada yang tanya, gue lebih takut sama siapa selain nyokap... jawabannya Oma sama trauma." Rea menatap Nata yang menumpu kepala pada satu tangan, dan ternyata sedari tadi menatapnya juga tanpa mengomentari ceritanya.
Kemudian cowok itu bertanya, "Emang Oma lo seserem apa?"
"Terlalu ketat sama dia, mah," respons Rea. "Huhft, gue berharap Oma nggak nyusul ke Jakarta." Senyum Rea terangkat sedikit saat tatapannya kembali bertemu dengan tatapan Nata. Kini tidak ada sarkasme di antara mereka. Seolah mereka merenungkan cerita masing-masing.
"Nat, mau bagaimana pun sikap nyokap lo ke elo... lo nggak boleh benci sama dia, oke? Mungkin nyokap lo keliatan nggak sayang sama lo dari perlakuan, mungkin itu feeling lo karena lo terlanjur iri sama kakak lo, kan? Tapi lo nggak tahu, kan, dalemnya gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...