"ACARA pernikahan berjalan dengan lancar tanpa ada suatu halangan apapun. Akhirnya, sekarang Irfan resmi menjadi suami sah Bu Wening dan menjadi Ayah angkat juga bagi Nata.
"Karena Nata sebenarnya bukan anak kandung saya."
Kalimat ungkapan yang dikeluarkan ibunya lima jam yang lalu mencekik leher Nata keras-keras. Kalimat yang lebih menyakitkan dibandingkan mengetahui kenyataan bahwa ternyata ibunya akan menikah dengan ayah dari pacarnya sendiri.
Sekarang Nata tidak tahu apa statusnya dengan Rea. Apakah Nata terlalu jahat mengatakan kepada semua orang di acara tadi bahwa mereka sudah putus? Padahal di antara mereka belum ada yang memutuskan hubungan.
Bunyi-bunyi tuts piano yang ditekan terdengar menggema di ruangan yang sudah bertahun-tahun Nata tinggalkan. Tapi, piano itu masih sama, belum rusak, nada-nadanya tidak berubah sejak dulu, hanya berdebu. Tekanannya pada tuts masih lancar, tidak kaku seperti saat pertama kalinya dia dilatih. Hanya saja, kini ditekan makin keras, keras, dan tajam seiring pikiran-pikirannya yang kemana-mana.
Lalu... siapa...
"Hai."
...ibu kandung Nata yang asli?
Tuts terakhir berhenti saat sapaan itu datang. Datang dari seseorang yang lama dia rindukan-sejak kejadian tiga hari yang lalu. Senyumnya masih sama seperti saat mereka bermesraan di bawah hujan, atau saat Nata mengeluarkan kata-kata gombal.
"Hai," balas Nata. Laki-laki itu berdiri, menghentikan aktivitas main piano. "Re, gue mau minta maaf sama lo." Nata menunduk, menelan ludahnya.
"Gue bener-bener minta maaf karena hari itu ninggalin lo. Gue minta maaf nggak bilang dari dulu kalo gue anaknya Bu Wening-tapi...," geleng Nata meralat, "...sebelum gue tahu semuanya lebih jelas sekarang." Lebih jelas kalau ternyata Nata bukan anak kandung guru mereka. Bukan anak kandung dari guru yang menikah dengan ayah Rea. "Terus pas acara tadi... gue bilang sama bokap lo kalo kita udah putus. Maaf, ya? Padahal, kita belum memutuskan apa-apa sejak hari itu."
Rea mendengus geli, mendekat. Jemarinya bergerak mengangkat kedua pergelangan tangan Nata. Nata menatap tangan itu, kemudian mengangkat wajah. Tatap keduanya bertemu. Tatapan yang rasanya seperti setahun begitu lama tidak dipertemukan.
"Gue juga minta maaf karena hari itu gue bilang benci lo," balas Rea. "Nat, gue kira kita bener-bener akan jadi saudara. Tapi ternyata... Tuhan lebih baik banget sekarang karena gue bisa milikin lo selamanya."
Sinting, Nata tidak boleh tidak semendebarkan ini. Dan selalu saja karena kata-kata gadis itu.
"Jadi? Jadi sekarang kita lanjutin hubungan ini, kan?"
Senyum Rea melebar, kemudian mengangguk antusias. Tapi perlahan dia menahan nafas saat tiba-tiba jemari Nata bergerak menarik tangan Rea, dan mencium punggung tangannya dalam hitungan lima detik terasa lama.
"Ehm, ehm!"
Setidaknya sampai suara batuk-batuk yang dibuat-buat terdengar, dan menghancurkan momen keduanya. Tangan mereka saling lepas spontan, dan sama-sama berjauhan, menstabilkan diri.
"Jadi... kalian udah siap nikah, nih?"
Kedua bola mata Nata membelalak. "Ibu. Ibu apa-apan, deh?"
Rea di depannya menahan senyum malu.
Bu Wening melangkah maju untuk merangkul keduanya akrab. "Pantesan, ya, di kelas kalian tuh kadang Ibu perhatiin suka cekikikan sendiri." Bu Wening mencubit pipi kedua pasangan itu dengan gemas. "Ternyata. Kalian pacaran."
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...