"BUDEEE, es jeruk peras satu, ya," pesan Rea saat sampai di stan seorang ibu-ibu penjual beberapa jajanan yang sudah seminggu menjadi langganan, biasa di panggil Bude Sumik oleh warga sekolah. Ibu-ibu yang sudah berumur lumayan tua itu mengangkat jempol dari balik stan.
Tak lama kemudian, segelas es berwarna oren ditaruh di atas etalase kecil yang berisi beberapa jajanan murah harga seribuan. Setelah membayarnya, Rea mengambilnya, berniat kembali ke bangku panjang yang sudah ditempati kedua sahabatnya. Tampak mereka cekikikan sambil menikmati cemilan masing-masing. Entah apa yang dibicarakan, Rea sepertinya ketinggalan zaman.
Tanpa sengaja, kaki jenjang gadis itu tersandung oleh tali sepatunya sendiri yang tidak terikat sebelah. Sontak esnya terjatuh, isinya sempat mengenai wajah seseorang yang melintas. Orang itu memejamkan mata, merasakan wajahnya terasa dingin dan air jeruk mengaliri kemeja putih yang dikenakan.
Mata Rea membulat, mulutnya terbuka lebar, lalu di bekap oleh kedua tangannya sendiri, terkejut setengah mampus. Banyak pasang mata yang ikut terkejut melihat kejadian itu hingga kantin hening sejenak. Gelas plastik berisi es jeruk yang masih utuh-sama sekali belum diminum itu sudah mengotori lantai.
Nata mengusap wajahnya lagi dengan helaan nafas pelan. Kini cowok itu mengeraskan rahangnya, menatap gadis yang sudah tidak asing lagi di depannya persis seperti menahan emosi.
"Nggak sengaja," ucap Rea. "Sorry." Pandangannya menatap ke sekitar. Ke mana saja, agar bisa menghindari tatapan laki-laki yang mungkin sebentar lagi akan meledak. Tiba-tiba saja nyalinya menciut, ditambah beberapa pasang mata memperhatikan mereka. Ke mana keberanian yang biasanya?
"Ngomong tuh tatap orangnya langsung. Bukan malah natap lantai. Emang tuh lantai bisa ngomong, apa? Tuh lantai sama gue juga gantengan gue, kalek."
Mendengar kalimat terakhir cowok itu, otomatis kepala Rea diangkat, menatap cowok dengan seragam yang sudah basah karena ulahnya. "Gue minta maaf. Puas lo?" Rea mendorong dadanya pelan walaupun dia memilih jalur jalan lain untuk kabur.
Pemuda itu bergegas melepas kancingnya dari kancing teratas yang sudah terbuka dua dengan tergesa-gesa. Membuat mata gadis-gadis seisi kantin yang dapat menyaksikan langsung memekik heboh.
Rea refleks menutup telinga saat memunggungi Nata-belum tahu ada kejadian apa yang membuat heboh para siswi.
"Heh."
Begitu suara Nata keluar, gadis itu menghentikan langkah dan berbalik. Rea tersentak karena Nata tiba-tiba melemparinya kemeja basah tadi dan dengan sigap cewek itu menangkapnya.
"Cuci."
Mulut Rea setengah terbuka sewaktu menyadari Nata tanpa seragam, hanya menyisakan kaos oblong hitam polos sedikit sempit hingga membentuk lekukan tubuhnya yang atletis.
"Kenapa? Nggak mau?"
Rea berkedip. Gadis itu masih belum membuka suara.
"Mau HP lo balik, kan? Kalo enggak, yaudah, nggak usah dicuci."
Tanpa repot-repot menunggu responnya, Nata segera melengos pergi dari kantin. Lalu di detik sosok itu sudah tidak ada, terdengar suara pekikan histeris lagi dari luar kantin.
Mata Rea menurun, menatap seragam OSIS tanpa atribut yang kusut dan bernoda. Pemiliknya menyisakan es jeruk yang tumpah mengotori lantai, jejak air es di ujung sepatu Rea yang talinya tidak terikat, juga jejak sepatu yang basah menambah kekotoran lantai. Merasa masih menjadi pusat perhatian, Rea menelan salivanya, sebelum pergi keluar kantin juga, berniat membersihkan seragam itu di kamar mandi.
"Gila, ya? Rea bermasalah banget sama Nata. Tuh cowok pasti nggak bakalan tinggal diem hari ini doang. Kita harus jagain Rea, Rin. Dia kayaknya dalam bahaya."
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...