"Manusia nggak luput dari kesalahan, Vin. Jadi, kalo lo ngulangin hal yang sama, itu namanya lo udah bener-bener kelewatan, dan nggak bisa dimaafkan."
•
•
•"SENDIRIAN aja."
Suara pelan itu membuyarkan lamunan Rea yang datang tanpa diundang. Bukan Devon, Karin, Zara, Jacky, Farel, atau bahkan Nata. Bukan semua orang yang dikenalnya. Tapi memang sudah familiar namanya, tidak dengan suaranya. Gadis cantik dengan tubuh ramping, rambut bergelombang diikat setengah, dan dress hitam ruched bertali modis duduk di kursi depan Rea, dekat kolam renang. Berinisial P, berani tebak?
Acara dansa memang terletak agak jauh dari kolam renang, dan hanya ada beberapa saja yang ikut berdansa. Tapi masih terlihat jelas dari lokasi Rea. Kolam renang tidak kalah cantiknya dengan hiasan lampu-lampu, dan airnya jernih selalu terawat.
"Kenapa lo ngebiarin cowok lo sama cewek lain?"
Rea masih terdiam menatap minumannya tidak berselera karena kehadiran cewek itu. Pierre menatap arah dua sejoli yang masih berdansa mesra, bergantian ke arah Rea di depannya.
Wajah Rea terangkat, matanya tepat mengarah ke mata Pierre yang terlihat heran menatap ke arahnya. "Terserah dia, lah, mau dia sama siapapun. Gue nggak terlalu ngekang."
"Kalian pura-pura pacaran, kan?"
Hah?
Rea menahan keterkejutannya dalam hati. Dari mana... Pierre bisa tahu? Atau... gadis Thailand itu hanya menebak-nebak saja? Rea tidak boleh terpancing. Kalau benar dia hanya menebak, Rea terpancing, maka itu akan membongkar rahasianya selama ini.
"Pura-pura pacaran?" Rea mendengus geli. "Buat apa? Kayak nggak ada kerjaan aja."
Pierre menyipitkan mata. "Muka lo ketebak banget bohongnya," senyum Pierre. "Gue bisa kok buktiin ke semua orang kalo kalian tuh cuma pura-pura pacaran, buat ngejaga perasaan sahabat lo itu, kan?"
Demi apapun, Rea deg-degan luar biasa. Dia harus menjawab apa? Kalau diam saja pasti Pierre tambah curiga.
"Kok diem? Berarti dugaan gue bener, dong." Pierre memiringkan senyumnya.
Walaupun keliatannya tenang, sebenarnya dalam hati, Rea bingung dan rasanya mau mati sekarang juga. "Bukti apa lagi? Gue sama Nata emang pacaran. Kok sewot, sih? Lo mau Nata juga? Ambil."
Pierre tertawa. "Kalo orang bener-bener pacaran, dia nggak mungkin dengan santainya ngasih pacarnya ke orang lain. Lo kira Nata barang?"
Rea terdiam. Memikirkan kata-kata yang lebih bijak agar bisa mengalahkan Pierre. Dia harus berhati-hati. Gadis di depannya ini adalah seseorang yang berbahaya.
"Lo tuh kayaknya sewot mulu, ya, Kak? Iri karena lo nggak ada pasangan? Seenggaknya nggak usah ngusik hubungan orang lain."
"Btw, baju lo norak."
Rea menatap dress milik Zara yang dikenakannya. Sebenarnya apa mau kakak kelas di hadapannya ini? Kenapa suka sekali sewot? Dan sekarang justru mengejek perihal pakaian?
"Oh, ya? Emang punya elo enggak?"
"Ini mahal." Pierre mengedikan bahunya santai. "Nggak ada di Indonesia."
"Minimal dari luar negri, lah, Kak. Liburannya cuma di Indonesia aja, ya?"
Pierre terlihat sedikit emosi karena Rea sengaja membalas ejekannya. Dia duluan yang memulai permainan, jadi buat apa Rea diam saja, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...