RASA nyeri dan ngilu dicampur rasa amis darah masih Nata tahan hingga cowok itu membuka pintu kelas dan melenggang masuk. Matanya menatap seisi ruangan yang sudah dipenuhi murid-murid yang berisik. Yang paling berisik dan rusuh siapa lagi kalau bukan teman-temannya?
Pantas saja, karena sekarang free class, jadi tidak heran mereka mau melakukan kerusuhan apa saja. Dan sudah tidak mengherankan lagi kenapa teman-teman Nata dari kelas lain berada di sini. Kedatangan Gavin, Ryan, dan Abi, ditambah Jacky, dan Farel-yang resmi menempati kelas itu-menambah kericuhan kelas.
Nata geleng-geleng kepala melihat mereka menjahili Fadhlan yang tengah terlelap seperti orang mati dengan posisi mengenaskan. Wajah Fadhlan sudah tidak bisa disebut rupa manusia lagi hingga membuat para cewek yang melihatnya menutup wajah horor, dan sebagian tidak peduli karena ini bukan kejadian yang pertama kali sementara sebagian cowok cekikikan menyaksikannya.
Kancing seragamnya sudah terbuka semua hingga dia telanjang dada dan di dada bidangnya menampilkan coret-coretan spidol bergambar kutang karya para biang rusuh: Farel dan Jacky, ditambah Ryan dan Abi yang ikut-ikutan.
Farel memainkan air liur Fadhlan dengan pensil. Alih-alih membuang pensil itu, justru Farel mendekatkan pensil itu main-main ke semua orang di sekitar hingga mereka berlarian menghindar.
Abi yang pertama menyadari kehadiran Nata yang berjalan ke arah mereka di meja pojok belakang. "Wohoho, ada bapak negara yang baru sampe, nih. Dari mana aja, Pak negara? Apa kabar?" ledeknya, riang seperti biasa.
"Wah, kenapa tuh muka? Habis kepentol tembok, ye?" tebak Jacky ngasal.
"Itu mah habis berantem sama Revan, Blok," sahut Farel. "Ketinggalan zaman lo."
Perdebatan konyol teman-temannya tidak Nata hiraukan begitu tatapannya tertuju pada satu titik di mejanya yang ditengahi empat orang. Gadis yang menarik perhatiannya terlihat serius membaca novel, sesekali menanggapi teman-temannya yang tengah bercengkrama sambil cekikikan dan saling pukul gemas.
"Nih orang lagi mimpi apaan, dah? Pules amat tidurnya." Pertanyaan heran Gavin datang membuat atensi Nata teralihkan lagi.
"Wih, mantap-mantap tuh kayaknya." Tebakan ambigu Jacky membuat gelak tawa yang lain pecah, kecuali Nata yang hanya mendengus geli.
Lelaki itu akhirnya memutuskan untuk menghampiri mejanya yang dihuni Rea dan Zara-berhadapan dengan Audrey dan Lauren. "Ehm."
Ketiga gadis menoleh, tapi tidak dengan Rea karena dia kenal betul dengan pemilik suara itu. Pemilik suara yang membuatnya badmood abis karena tuduhan-tuduhannya. Dan pemilik suara yang membuatnya meninggalkan ruang UKS seusai mengobati luka-lukanya walaupun belum selesai sepenuhnya.
"Sorry, gue ganggu kalian."
Zara menanggapi jenaka dengan raut riangnya. "Gwenchana, gwenchana. Mau ngomong serius sama Rea, ya?"
Cewek itu langsung mengaduh keras-keras ketika mendapati tendangan di betis oleh perbuatan gadis di sebelahnya.
"Yaudah! Kita mojok, ya, Re!" Tanpa menunggu persetujuan dari Rea yang pastinya tidak akan disetujui, ketiga gadis itu buru-buru saling seret menuju meja kosong.
"Re."
Rea hanya melirik sangsi teman-temannya tanpa sudi menatap orang yang memanggilnya.
"Re, gue..." Mungkin ini saatnya laki-laki itu harus mengeluarkan kata-kata setulus mungkin sebagai jalan terakhir dia berdamai dengan gadis itu. "Gue mau...."
Belum sempat Nata melanjutkan ucapannya, Rea keburu berdiri. "Woi, elo," tunjuknya, mengarah lurus ke cewek yang bertahi lalat di pipi kiri, dan berambut keriting- menatap Rea ragu-ragu sambil menunjuk dirinya sendiri bodoh, memastikan kalau dia yang ditunjuk Rea. "Lo duduk di tempat gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
NATAREL✔️
Teen FictionKalau saja sandiwara sialan itu tidak ada, Rea tidak akan terjebak dalam cintanya sendiri. Kalau saja dia tidak dekat dengan Devon, crush sahabatnya, mungkin Rea tidak akan menerima ajakan berpacaran pura-pura dengan si pencuri, berandalan Abipraya...