Pencarian selanjutnya tetap tidak membuahkan hasil. Diserahkan botol berisi air mineral itu pada Rachel. Saka melirik sekilas Rachel yang tampak kelelahan. Beberapa bulir keringat tercetak jelas di dahinya.
"Kata saya juga apa." Rachel berseru setelah meneguk minuman di tangannya. "Mending kita pulang aja, Pak. Kasihan Pak Saka seharian cari Ibu, tapi gak ketemu. Seharusnya Pak Saka kan kerja, eh ini malah bolos di sini sama saya," cerocos Rachel menggebu.
Rupanya Rachel masih ada tenaga untuk berdebat dengannya. "Saya harus bertemu sama Ibu kamu sebelum kita menikah."
Rachel mendelik. "Yang mau menikah sama Pak Saka siapa? Saya sih ogah."
"Kamu mau dikejar sama Ibu-ibu galak itu terus?" tanya Saka setengah mencibir. "Kalau kamu menikah sama saya, kamu kan bisa cepat bayar hutang."
Botol yang isinya tinggal setengah itu digenggam erat oleh Rachel. "Namanya Bu Meta, Pak. Lagian Bu Meta tuh baik banget tahu."
Saka berdecak kecil seraya menendang kerikil yang ada di dekat kakinya. "Datang gedor-gedor pintu sambil teriak, kamu bilang baik?"
Tanpa ragu Rachel mengangguk. "Bu Meta itu baik, Pak. Meski hutang Ibu banyak, Bu Meta gak minta sama saya buat lunasi semuanya secara langsung. Saya diizinkan menyicil meski sampai sekarang belum selesai," jelasnya lalu tertawa pelan.
Di bawah pohon rindang, Saka kembali disuguhkan dengan tawa palsu Rachel. Ah, apa wanita itu memang sering seperti ini? Saka berpikir jika selama ini Rachel baik-baik saja. Rupanya ia salah.
Setitik rasa bersalah mulai bersarang di hatinya. Ia tidak berhasil menemukan keberadaan ibunya Rachel. Setelah datang dari rumah ke rumah, ia dan Rachel tetap tidak mendapatkan informasi apapun. Untuk pertama kalinya, Saka merasa tidak berguna.
"Ibu kamu gak punya saudara? Mungkin aja tempat persembunyian Ibu kamu di sana."
"Ibu anak tunggal. Dan rumah yang saya tempati sekarang adalah rumah Ibu satu-satunya."
Saka tidak bisa berpikir tempat lain yang sekiranya mungkin dipilih oleh ibunya Rachel untuk bersembunyi. "Mau coba cari ke mana lagi, Chel? Ini masih sore kok. Kita bisa cari Ibu kamu ke tempat lain."
Rachel melempar senyuman terbaiknya. "Enggak usah, Pak. Terima kasih sudah mau bantu saya mencari Ibu, tapi untuk hari ini sepertinya kita akhiri saja," ungkapnya. "Lagian Pak Saka pasti ada urusan lain. Pak Saka juga harus balik lagi ke kafe kan?"
"Urusan terpenting saya untuk saat ini cuma kamu."
"Hahaha, ayo pulang, Pak udah sore nih." Rachel menjadi orang pertama yang berdiri dan berlari kecil masuk ke mobil.
Saka mengusap wajahnya secara kasar. Demi Tuhan kalau tidak ingat warisan, Saka ingin mengubur Rachel sekarang juga. Apa perhatian dan sikap manisnya selama ini belum mampu menembus Rachel? Namun sebentar, apa Saka memang melakukan ini semua hanya karena warisan?
"Sepertinya gue harus nanya sama Bima biar bisa meluluhkan hati Rachel." Saka berdecak kesal menyusul Rachel.
"Kamu masih suka sama Bima?" tanya Saka langsung setelah duduk di kursi mengemudi.
"Enggak. Sudah berapa kali saya bilang kalau perasaan saya sama Bima sudah hilang ... tidak belum hilang sepenuhnya, tapi saya sudah gak mau lagi berurusan dengan Bima."
Saka mengangguk paham. Ya, setidaknya Rachel sudah lepas dari bayang-bayang Bima. Jika suatu hari nanti mereka menikah, Saka tidak akan risau kalau Rachel masih mencintai masa lalunya.
Bodoh. Kenapa harus berpikir sejauh itu kalau tujuan gue menikah sama Rachel cuma gara-gara warisan?
"Pak Saka kenapa?" Rachel mengernyit heran melihat Saka memukul kepala beberapa kali. "Pak Saka sakit?" tanyanya perhatian.
"Gak apa-apa," jawab Saka berdeham kecil. Pikirannya memang sedang tidak waras. Wajar rasanya jika ia berpikir terlalu jauh tentang masa depannya dan Rachel nanti. "Kita pulang sekarang."
•
"Gue di rumah lo. Mau numpang tidur."
"Ada masalah apa lo?" Di seberang sana, Rangga terkekeh kecil. "Rachel lagi? Gue pulang sebentar lagi. Nanti lo harus cerita hari ini habis bawa Rachel kemana aja."
Saka memutus sambungan panggilan itu secara sepihak. Rangga akan lebih lama mengoceh jika ia tidak melakukan hal tersebut. Ia berguling ke sebelah kanan, menemukan beberapa potret keluarga harmonis yang dipajang oleh Rangga. Di sebelahnya ada foto dirinya dan Rangga ketika sedang wisuda. Melihat itu tanpa sadar membuat Saka tersenyum kecil.
"Gue beneran gila kayaknya kalau gak temenan sama Rangga," bisik Saka mengubah posisi menjadi telentang.
Meski sering membuatnya bertambah gila, setidaknya Rangga menjadi orang pertama yang ia cari ketika ingin bercerita. Seperti hari ini.
Setelah berusaha menemukan ibunya Rachel yang berakhir dengan nihil, kepala Saka rasanya mau pecah. Apalagi melihat raut wajah Rachel yang terlihat sedih. Saka merasa tidak ingin melihat Rachel bersedih. Ia rela mendengar Rachel mengoceh dan bersungut-sungut daripada diam sepanjang jalan dengan wajah yang tertekuk.
"Gue gak mungkin naksir Rachel beneran kan?" Saka berbisik di antara heningnya malam. "Ya kali gue suka sama cewek itu."
Namun, sejak mengenal Rachel dunia Saka memang terasa berbeda. Setelah beberapa tahun terasa monoton, ia mulai merasakan banyak perasaan setelah mencoba mendekati Rachel. Dunianya dan Rachel yang berbeda membuat Saka semakin mengerti jika selama ini ia tidak pernah merasa cukup.
Saka memejamkan mata. Mungkin tidur bisa membuat pikirannya lebih jernih, begitu pikirnya. Namun, baru beberapa menit matanya terpejam, Saka kembali terjaga. "Kenapa wajah Rachel terus sih yang ada di bayangan gue?!" pekik Saka tertahan sambil mengacak rambutnya frustrasi.
"Lo kesurupan?" Rangga datang setengah heran melihat Saka yang acak-acakan. "Lo kenapa sih? Sehat lo?" tanyanya lagi.
"Gue gagal menemukan Ibunya Rachel." Saka mengangkat badannya dan duduk dengan tegak. "Lo bayangin, gue datang ke semua teman Ibunya Rachel, tapi gak ada satupun di antara mereka yang tahu di mana keberadaan Ibunya Rachel," papar Saka blak-blakan.
Rangga melepas jas yang membalut tubuhnya. "Gue heran sejak kapan lo jadi peduli banget sama urusan orang lain. Apalagi ini urusan orang asing."
Saka berdecak kesal. "Rachel bukan orang asing, Rangga. Gue lagi coba peduli sama dia sesuai saran lo dan saran Ayah."
"Di mata gue lo beneran peduli sama dia, Ka. Lo beneran ada rasa sama dia, kan?" Rangga bertanya dan Saka membisu. "Lo gak usah takut ditagih mobil sama gue. Kalau lo beneran suka sama Rachel tinggal bilang aja."
Saka dengan cepat geleng-geleng kepala. "Gue gak suka sama dia. Gue cuma ... cuma mau buat dia luluh aja sama gue," jelasnya setenang mungkin.
"Rachel bawa pengaruh yang baik buat lo kok," ujar Rangga terdengar bangga. "Sejak lo putus sama Amanda dan belok ke Rachel, lo jauh lebih baik. Lo lebih menghargai orang lain, lebih menghargai makanan yang ada di sekitar lo, lebih dekat sama Om Henri, dan lo juga lebih beraura positif." Rangga menjelaskan panjang lebar perubahan Saka yang ia sadari belakangan ini.
Mendengar penuturan Rangga membuatnya melongo. "Lo serius? Lo sayang banget ya sama gue sampai hal sedetail itu lo perhatiin?"
"Lo mending pulang aja deh," usir Rangga tiba-tiba kesal.
Saka tak kuasa untuk tidak tertawa mendengar umpatan Rangga. "Tapi lo benar kok. Gue merasa beberapa hal banyak berubah setelah gue mencoba dekat sama Rachel."
"Jadi, lo beneran suka sama Rachel?" Kali ini pertanyaan Rangga terdengar serius.
Bibir Saka seketika terkunci. Berat sekali rasanya untuk menjawab pertanyaan sederhana itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Love You
RomanceDemi mendapatkan warisan, Saka Gumilang rela menurunkan gengsi dan melamar Rachel Samantha yang tidak lain ada karyawannya sendiri. Masalahnya, Rachel sudah memiliki kekasih. Saka bingung bagaimana mendapatkan Rachel yang super cerewet dan keras ke...